Minggu, 09 November 2014

Percakapan dengan masalalu

+ : mengapa kita dipertemukan kalau akhirnya hanya berpisah?
- : mengapa kamu masih bernapas padahal kamu tahu bakal mati?
+ : karena aku bernapas tanpa kuatur. Sejak aku lahir, aku sudah seperti ini.
- : dan cinta ada jauh sebelum kamu lahir. Karena kamu takkan lahir tanpa cinta dari Tuhan dan orang tuamu.
+ : tapi mengapa aku tak dapat cinta dari seseorang yang kuharapkan?
- : siapa? Dia tak mencintaimu sama sekali?
+ : dia pernah mencintaiku. Tapi aku salah sudah mengatainya ketika aku terpancing emosi. Dan kini dia pergi. Dan adakah kamu tahu? Hal yang paling menyakitkan adalah ketika orang yang paling kita cinta pergi meninggalkan kita hanya karena kesalahan kecil yang kita buat. Maaf telah terucap berkali-kali. Tapi kurasa, itu takkan membuat dia kembali.
- : oh, ya? Kamu mengatakannya seperti seseorang yang terluka.
+ : memang aku terluka.
- : mengapa? Itu kan salahmu.
+ : memang itu salahku. Tapi tak bisakah aku mendapat satu kesempatan lagi? Setiap manusia punya dosa, bukan?
- : dan dari dosa itu, pasti ada yang mampu kamu hindari, bukan? Manusia tidak buta soal apa yang baik dan jahat. Hanya saja mereka kurang teliti, dan tak mau berkaca pada diri sendiri.
+ : yang mereka butuhkan hanya kesempatan!
- : kamu pikir semudah itu mendatangkan kesempatan? Kesempatan hanya datang satu kali untuk kasus dan kejadian yang sama.
+ : aku tahu. Tapi bukankah Tuhan begitu murah hati? Ia mau memberi kita waktu untuk belajar kembali.
- : tapi mestinya kamu tak segegabah itu. Kamu telah membuat luka. Dan sekalipun kamu telah mengucap maaf, bukan berarti segalanya dapat kembali.
+ : begitukah? Jadi kamu juga takkan kembali?
- : tidak. Apa itu mengganggumu?
+ : sangat.
- : mengapa? Bukankah banyak orang lain diluar sana?
+ : aku mengharapkan kamu, bukan yang lain.
- : berarti kamu bodoh karena memaksa hatimu untuk terus merasakan sakit. Padahal dia bakal cepat sembuh. Tapi kamu menolak kesembuhan itu.
+ : apa artinya sembuh kalau aku tetap hidup tanpamu?
- : ayolah, jangan begitu. Masih banyak yang jauh lebih baik dariku. Kamu mengatakannya seakan dunia cuma punya satu wanita. Jangan egois.
+ : aku tidak egois. Aku menuruti hatiku.
- : bagaimana bila ada orang yang mati-matian memperjuangkanmu? Bagaimana bila dia melakukan apapun hanya untuk membuatmu tertawa? Apa kamu akan tetap mengabaikan dia?
+ : aku akan tetap mengabaikannya. Kecuali dia adalah kamu.
- : dia takkan mungkin jadi aku, karena aku takkan mungkin pula kembali hanya untuk memperjuangkanmu.
+ : mengapa kamu takkan kembali?
- : karena rasaku tak lagi sama. Dan kamulah yang membuatnya jadi demikian.
+ : aku kan sudah minta maaf. Ayolah, masa kamu tidak pernah punya pikiran untuk kembali? Sebegitu mudahnya kamu melupakan cinta kita?
- : aku tidak melupakannya. Aku menyesalinya. Seandainya kamu tidak mengataiku. Seandainya kamu mampu mengontrol hatimu, segalanya takkan berbalik jadi menyakitkan begini.
+ : lalu kamu menyerah? Kamu mundur? Hanya dengan alasan kamu telah sampai pada rasa sakit itu?
- : sudah kubilang, segalanya tak lagi sama. Aku bisa saja sabar, tapi kalau kamu membawaku pada ujung tanduk itu, maka aku bakal bisa jatuh, pecah. Dan rasa yang pecah takkan mungkin jadi utuh kembali. Kecuali kamu bisa memutar waktu.
+ : begitu?
- : ya.
+ : tidak bisakah kita mulai dari awal?
- : tidak. Mengapa kamu tidak mencari wanita lain saja? Kupastikan mereka bakal lebih baik dan lebih sabar menghadapi kamu.
+ : aku tidak peduli. Cuma kamu yang kamu mau. Tidakkah kamu ingat? Setiap kali ada pertengkaran hebat diantara kita, dan akhirnya kita putus atau berpisah sejenak, bukankah aku tetap saja sendiri? menurutmu mengapa aku begitu?
- : aku tidak tahu. Memangnya mengapa?
+ : karena kamu adalah pilihanku. Aku bisa saja mencari orang lain. Tapi aku takkan melakukannya. Karena kamu yang kumau. Bukan orang lain. Dan aku akan tetap bertahan disini sampai kamu kembali. Sampai kapanpun itu, aku tetap disini. Sekalipun kamu bahagia dengan orang lain, sekalipun aku telah terhapus dari otakmu, sekalipun rasamu padaku telah hancur, sekalipun hatimu telah tertutup, aku tetap disini. Aku selalu disini. Menunggu kamu kembali. Meski harus sampai kutemui maut agar kita bisa bersatu, aku tak peduli.
- : tidakkah itu keputusan yang menyakitkan buatmu?
+ : ya. Tapi aku telah memutuskannya. Dan aku akan bertahan, meski kamu tidak. Nah, sekarang tinggal keputusanmu. Apapun itu, aku terima. Pergilah, jika kamu berniat pergi. Aku akan selalu disini, menunggu kamu kembali. Karena aku percaya, sejauh apapun kaki melangkah, ia akan tetap kembali ke rumah.

Sabtu, 08 November 2014

Bermuda

“Berhentilah jadi dirimu sendiri, karena ada seseorang yang makin tak mampu keluar dari rasa sukanya, padamu.”

Hai. Untuk kali kedua.

Jarak mulai mempersempit tubuhnya, dan kini bentangan kesempatan terpampang jelas di depan mata. Sedekat itu kamu sekarang. Mestinya aku senang. Tapi bukan itu yang kurasakan. Aku justru benci pada keadaan ini. Benci berada dalam jarak sedekat ini. Benci bisa melihat kamu sebegitu jelas, tanpa perlu bantuan kacamata atau sejenisnya. Andaikata jiwamu sedang berkelana sendirian, mungkin tak sebegini tertekannya aku. Tapi keadaan tak mau toleransi tentang perkara itu. Layaknya supernova, aku kini sekarat.

Dan disinilah kita. Berdiri sejajar dengan analogi Bermuda. Aku, kamu dan kekasihmu. Terjebak dalam potongan kisah yang sama. Bertahan dalam dunia masing-masing kita. Seperti gas methan dan pusaran air yang mampu melenyapkan pesawat dan kapal, begitulah pesonamu, menarik sayapku kuat, menjebakku dalam ketidakberdayaan. Lalu, kekasihmu akan bertindak seperti medan graviti terbalik yang akan mengacaukan kompas dan alat navigasiku, agar aku makin terjebak dalam putaran rasa yang makin lama makin menyiksa.

Rasa yang tercetak dalam bidang segitiga ini membuatku kehabisan banyak oksigen untuk tetap bertahan dalam kesadaran. Kesadaran bahwa jabatanku hanya sebatas teman. Kesadaran bahwa kedekatan kita hanya berdasar suatu alasan. Kesadaran bahwa kamu dan dia adalah alasan perih ini ada dan menjalar, berjalan persis runutan kekaguman akan kamu. Dan ketika kamu telah mendapat apa yang kamu perlu, kamu bakal pergi. Itu sudah pasti. Mestinya aku bisa mengendalikan diri dan menahan perasaan ini. Tapi hal-hal sederhana yang kamu lakukan, tingkah konyolmu karena keingintahuan sukses membawaku terbang. Aku tahu akan takkan sanggup. Sayapku takkan mampu bertahan. Aku butuh jalan untuk kembali pulang.

Jadilah orang lain. Jadilah siapapun yang bakal membuatku menjaga jarak ini. Karena sosokmu telah menjelma jadi lebih dari sekadar bayangan terang yang selalu ingin kuketahui.

Atau,

Jatuhkan aku, sekarang. Biarkan aku pulang. Karena kesiapanku tak bertahan lama.

Sabtu, 01 November 2014

Bodoh dan Pergi

Hai.

Aku baru saja selesai menyapamu setelah sekian lama waktu membentang memisahkan kita. Dan yang kutahu kini, kamu sudah bersama dengan wanita lain. Mataku sontak mengabur, pandangan gelap, dan hati telah masuk perangkap. Duri. Pedang. Pisau. Serta rasa sakit yang teramat hingga tak mampu aku melukiskan pun mengungkapkan. Sembilan puluh detik telah berlalu, hatiku semakin gelap, dan sakit ini semakin jelas menancap. Aku tahu apa yang kurasakan. Aku tahu bagaimana pedih perih ini menjalar hingga ke partikel terkecil tubuh. Aku merasa lelah. Hati ini seakan bersimbah darah.

Maafkan aku tak mampu menulis sepuitis dan serapi biasanya. Yang kutahu hanya perih dan perih. Pedih dan pedih. Kamu……dan wanita lain. Tak ada yang memberitahuku sebelumnya. Kini aku datang, dan segalanya jadi lebih dari sekadar terlambat. Sang Waktu takkan kembali, kisah indah itu takkan terulang lagi. Kamu resmi membuka hati untuk yang kini kaucintai. Tinggal kebodohanku yang membuat rasa ini masih tertambat padamu, tanpa kusadari.

Aku jatuh cinta, pada pandangan entah keberapa. Aku jatuh cinta, tepat ketika kamu memilih pergi. Dan kini, siapa perlu disalahkan?

Aku tak perlu orang lain untuk membantuku keluar dari pusaran kematian ini. Mereka takkan punya waktu dan hati untuk bisa mengerti, memahami, apalagi ikut peduli. Cukuplah aku sendiri yang merasakan. Aku. Aku. Dan Tuhan. Tuhan yang telah mengijinkan perih ini terjadi, agar aku menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Aku tahu kini, seperti apa hati masalalumu ketika dia tahu aku dekat denganmu, kala itu. Sekarang aku hanya perlu diam, dan mengemut pelan-pelan pedang ini. Merasakan ketajamannya menggores lidah, membelah kerongkongan, menusuk lambung, memporak-porandakan usus. Luka. Remuk. Luluh lantak.

Dan sekalipun aku tak tahu pasti apa status wanita itu di hatimu, juga sebaliknya, aku tetap paham segalanya telah berubah. Kamu telah pergi. Lalu dia datang. Selanjutnya hatimu tertambat. Kamu terikat. Dan semakin jauh. Tinggal aku yang berusaha terbiasa dengan bayangmu, dengan kamu yang tak nyata lagi.

Selamat tinggal kamu. Bahagialah bersama wanitamu kini. Berjanjilah menjaganya, seperti aku yang diam-diam menjaga hati ini. Untuk kamu. Untuk kita. Pada saat yang takkan kembali. Pada kesempatan yang takkan terulang lagi.

Aku berjanji akan melupakanmu. Tunggulah waktunya, sayang. Dan andai kamu sempat, tengoklah tempatku berdiri. Dan dapati aku masih disini. Demi hatimu. Jiwamu. Kamu. Dan semoga, kita.