Sabtu, 01 November 2014

Bodoh dan Pergi

Hai.

Aku baru saja selesai menyapamu setelah sekian lama waktu membentang memisahkan kita. Dan yang kutahu kini, kamu sudah bersama dengan wanita lain. Mataku sontak mengabur, pandangan gelap, dan hati telah masuk perangkap. Duri. Pedang. Pisau. Serta rasa sakit yang teramat hingga tak mampu aku melukiskan pun mengungkapkan. Sembilan puluh detik telah berlalu, hatiku semakin gelap, dan sakit ini semakin jelas menancap. Aku tahu apa yang kurasakan. Aku tahu bagaimana pedih perih ini menjalar hingga ke partikel terkecil tubuh. Aku merasa lelah. Hati ini seakan bersimbah darah.

Maafkan aku tak mampu menulis sepuitis dan serapi biasanya. Yang kutahu hanya perih dan perih. Pedih dan pedih. Kamu……dan wanita lain. Tak ada yang memberitahuku sebelumnya. Kini aku datang, dan segalanya jadi lebih dari sekadar terlambat. Sang Waktu takkan kembali, kisah indah itu takkan terulang lagi. Kamu resmi membuka hati untuk yang kini kaucintai. Tinggal kebodohanku yang membuat rasa ini masih tertambat padamu, tanpa kusadari.

Aku jatuh cinta, pada pandangan entah keberapa. Aku jatuh cinta, tepat ketika kamu memilih pergi. Dan kini, siapa perlu disalahkan?

Aku tak perlu orang lain untuk membantuku keluar dari pusaran kematian ini. Mereka takkan punya waktu dan hati untuk bisa mengerti, memahami, apalagi ikut peduli. Cukuplah aku sendiri yang merasakan. Aku. Aku. Dan Tuhan. Tuhan yang telah mengijinkan perih ini terjadi, agar aku menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Aku tahu kini, seperti apa hati masalalumu ketika dia tahu aku dekat denganmu, kala itu. Sekarang aku hanya perlu diam, dan mengemut pelan-pelan pedang ini. Merasakan ketajamannya menggores lidah, membelah kerongkongan, menusuk lambung, memporak-porandakan usus. Luka. Remuk. Luluh lantak.

Dan sekalipun aku tak tahu pasti apa status wanita itu di hatimu, juga sebaliknya, aku tetap paham segalanya telah berubah. Kamu telah pergi. Lalu dia datang. Selanjutnya hatimu tertambat. Kamu terikat. Dan semakin jauh. Tinggal aku yang berusaha terbiasa dengan bayangmu, dengan kamu yang tak nyata lagi.

Selamat tinggal kamu. Bahagialah bersama wanitamu kini. Berjanjilah menjaganya, seperti aku yang diam-diam menjaga hati ini. Untuk kamu. Untuk kita. Pada saat yang takkan kembali. Pada kesempatan yang takkan terulang lagi.

Aku berjanji akan melupakanmu. Tunggulah waktunya, sayang. Dan andai kamu sempat, tengoklah tempatku berdiri. Dan dapati aku masih disini. Demi hatimu. Jiwamu. Kamu. Dan semoga, kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar