Aku sering memperhatikannya dari kejauhan. Ketika dia sedang
ngobrol dengan guru atau bersenda gurau dengan teman-temannya. Entahlah, aku
hanya suka melakukannya. Aku suka mengamatinya. Menelisik lekuk wajahnya,
memperhatikan corak batiknya, atau mencermati bahasa bibirnya.
Posturnya tinggi besar. Bahunya lebar dan tampak kokoh.
Kulitnya gelap, hidungnya mancung, bibirnya cokelat kemerahan selalu terlihat
basah dan ranum, membuatku ingin menggigitnya.
Dia punya sepasang mata bulat dengan selapit pelangi cokelat kebiruan yang
cantik dan indah. Aku suka sekali dengan matanya. Tatapannya tajam, dingin,
tapi menarik. Jarang orang punya tatapan seperti itu.
Pernah suatu kali aku dipergoki Brial, temannya. Saat itu
aku berdiri di dekat pilar koridor dan memperhatikan dia yang tampak serius
dengan bola basketnya. Saking asiknya, bibirku nyaris mencium pilar itu.
Aku begitu terhipnotis oleh aksinya sampai sebuah suara
menggetarkan daun telingaku lalu organ-organ selanjutnya.
“Ehem,
mantengin siapa Ta?” Briel tiba-tiba disebelahku.
Aku gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Karena di
lapangan hanya ada dia dan Rio. Masa aku bilang sedang memperhatikan Rio? Tak
mungkinlah. Karena, maaf ya, tampang Rio itu di bawah rata-rata. Alisnya hitam
dan tebal, wajahnya segituga terbalik, kulitnya putih, bibirnya tebal seperti
orang negro, pesek pula.
Tapi kalau aku jawab dia, astaga, bisa gaswat!
“Hei,
Atalanta? Jawab dong,” desak Briel.
“Hah?
Aku? Aku...ohh...”
“Dastan
ya?” Briel menatapku lekat-lekat. Aku hanya menunduk.
“Hahaha...”
tawa Briel pecah. Dia cekikikan. “Ta, Ta, ngaku aja. Santai kalo sama aku.
Dastan kece kok. Enggak salah kamu naksir dia,” ujarnya.
Sok tau amat. Seolah raut wajahku berkata begitu. Namun hati
ini jingkrak-jingkrak entah di atas genting, kabel listrik, atau malah selokan.
“El,
plis ya, biasa aja,” aku berusaha
melontarkan nada sinis. Briel meneruskan tawanya.
“Tapi
iya, kan?”
Tersentak. Diam.
“Atalanta?
Ciyus deh,”
Bimbang. Masih diam.
“Kamu
bisa percaya sama Gabriel,”
Diam. Kutatap bola matanya. Ada guratan meyakinkan yang
kutangkap. Aku mengangguk pelan.
“Nah!”
teriaknya. “Das...!”
“Sssttt!!”
aku berusaha membungkam mulutnya. Tapi aku terlambat satu detik. Tangannya
sudah mengunci tanganku.
Sial! Makiku dalam hati.
Untungnya, Briel tak menyelesaikan ucapannya. Dan lelaki itu
juga tak mendengar teriakan Briel.
“Haha,
enggak enggak Ta, kamu bisa percaya sama Gabriel,”
Aku mencibir.
“Cungguh?”
tanyaku.
“Iya,
janji deh,” dia memberikan jari
kelingkingnya. Aku menatapnya datar.
“Oke,
aku percaya, di jaga lho,” ujarku mengaitkan kelingkingku.
“Beres,”
dia tersenyum. “Selamat menikmati kekeceannya,” ditepuknya pundakku, dan
berlalu.
@@@
Kali ini dia membalas tatapanku. Mata cokelat kebiruan itu
menelisik gunung dan lembah yang tertata di wajahku. Dagu, bibir, hidung,
akhirnya mata kami bertemu. Aku langsung salah tingkah.malu sekali ketahuan
sedang mengamatinya. Dia menembakkan pandangannya padaku selama beberapa detik
sampai sesosok lelaki dengan kisaran umur 50-an mendekatinya. Pak Mulyadi, guru
fisika.
Ini aneh. Dia baru menatapku hari ini, tepat 2 hari setelah
Briel tahu aku sering memperhatikannya. Apa jangan-jangan Briel laporan ke dia?
Oh mak!
“Ta,
kamu ngapain?” otakku menerjemahkan laporan dari telinga. Itu suara Judith. Aku
tak sadar kalau saat itu aku sedang membentur-benturkan kepalaku ke tembok
seperti orang yang di-PHK.
Eh?
“Ha? Oh
enggak,” aku gelagapan. Guoblokkk! Aku mengutuki diri sendiri. Dibelakang
Judith ada Nayla dan Vanessa yang menatapku bingung. Juga ada berpasang-pasang
mata lain yang lewat sambil memperhatikanku dengan geli.
Astaga, ini konyol sekali.
@@@
Aku tak dapat duduk tenang di kursiku. Rumus-rumus
trigonometri di papan tulis tak dapat menarik perhatianku. Aku merasa seperti
ada sepasang mata yang mengawasiku. Di sekitar sini! Tapi aku belum
menemukannya.
Kutengok kanan-kiri dengan gelisah. Judith, Nayla, Vanessa,
dan yang lain tampak sibuk merekam rumus dengan mata dan memerintahkan tangan
untuk menuangnya di buku catatan. Kulirik Viola, teman semejaku yang juga sibuk
dengan pikiran dan catatannya. Aku memaksa diriku melakukan seperti apa yang
teman-teman lakukan. Aku tak mampu. Kegelisahan masih menguasaiku.
Aku menengok ke kanan, mengamati setiap obyek yang bisa
kutangkap. Yah, siapa tahu yang mengamatiku adalah sepasang mata kucing, cicak,
tikus, kecoa, atau malah semut-semut merah.
Pandanganku sampai pada arah jam 4. Dan setelah obyek ketiga
mataku menangkap sesosok tubuh dengan style yang kukenal duduk di tangga aula,
pinggir lapangan.
Lelaki itu.
Tubuhnya dibalut kaos olahraga, putih dengan ornamen biru
tua dan kuning. Kakinya yang telanjang terlihat kotor, rambutnya basah oleh
keringat. Dan matanya, matanya menatapku. Atau kalau aku terlalu PD, ya matanya
menatap kelas ini. Pokoknya daerah sini!
Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu dan mataku masih
terkunci pada sosoknya. Dia juga masih menatapku, ehm, maksudku daerah sini.
Lalu dia menyunggingkan senyum dan mengangguk. Aku kaget. Kutengok kiri. Aku
hanya melihat teman-teman yang masih serius dengan buku masing-masing. Tak ada
yang menatap keluar jendela, arah jam 4 kecuali aku.
Aku kembali menatapnya. Dia tersenyum simpul, menaikkan dagu, membawa
sepatunya, lalu berdiri.
Aku menunduk.
Apa maksudnya menyapaku?
@@@
“Ba!” sebuah
suara mengagetkanku. Aku tersentak. Ternyata Briel.
“Apa
sih?” ujarku sedikit mangkel. Dia terbahak.
“Gimana
Dastan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Ada
kemajuan,” jawabku singkat.
“Oh
ya?”
Aku mengangguk.
“Bagus
dong,” Briel tersenyum. “Kemajuan gimana?”
“Entahlah,
ini aku yang berlebihan atau memang fakta,” kulihat Briel mengangkat sebelah
alisnya. “Kemaren dia menyapaku,” lanjutku.
Briel manggut-manggut.
“Kau
laporan ke dia ya?” tuduhku. Mata Briel melotot besar sekali.
“Enggak!
Aku udah janji enggak bilang sama siapa-siapa kan?”
“Iya
sih,”
“Nah,
yaudah,”
“Terus,
kenapa dia kemaren..,”
“Entah,”
potong Briel. “Pokoknya aku nggak bilang apapun ke dia soal kamu,”
Aku mengangkat bahu.
“Aku
ke kelas ya, daah,” ditepuknya pundakku.
Aku mengangguk. Kuambil camilan
lalu membayarnya. Ketika kubalikkan badan, lelaki itu ada di belakangku. Mata
kami beradu. Dia tersenyum, mengangguk.
@@@
Ini mengesalkan. Beberapa kali
mata kami bertemu, dia hanya tersenyum dan menangguk. Itu saja. Lama-lama aku
bosan. Tak ada pembicaraan yang dia buka. Aku tak lagi sering memperhatikannya
seperti dulu. Malas. Apa gunanya mantengin sementara yang dipantengin hanya
tersenyum dan mengangguk begitu?
Aku pilih menjauh. Marah,
mangkel, bosan, memenuhi benakku setiap mengingatnya. Aku tidak benci. Tapi
juga tak suka dibegitukan terus.
Ayolah Dastan, bicaralah!
@@@
Itu dia. Sedang duduk di kursi
depan kelasnya. Arrgh!! Dia lagi, dia lagi. Bosan rasanya. Paling juga cuma
tersenyum, mengangguk, dan berlalu.
Aku sempat menatapnya beberapa
detik. Setelah itu kuarahkan pandanganku ke sisi lain. Tapi entah mengapa, aku
tak bisa bertahan pada sisi lain itu. Mataku tergoda untuk menatapnya.
Akhirnya aku menuruti kata
hatiku. Kulihat dia berjalan ke arahku. Dekat, dekat, semakin dekat. Aku
melongo. Apa mataku tak salah?
“Hai,
cantik,” senyumnya. Jantungku berdebar. “Aku Dastan, boleh kita kenalan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar