Rabu, 28 November 2012

Boleh Kita Kenalan?


Aku sering memperhatikannya dari kejauhan. Ketika dia sedang ngobrol dengan guru atau bersenda gurau dengan teman-temannya. Entahlah, aku hanya suka melakukannya. Aku suka mengamatinya. Menelisik lekuk wajahnya, memperhatikan corak batiknya, atau mencermati bahasa bibirnya.

Posturnya tinggi besar. Bahunya lebar dan tampak kokoh. Kulitnya gelap, hidungnya mancung, bibirnya cokelat kemerahan selalu terlihat basah dan ranum, membuatku ingin menggigitnya.
Dia punya sepasang mata bulat dengan selapit pelangi cokelat kebiruan yang cantik dan indah. Aku suka sekali dengan matanya. Tatapannya tajam, dingin, tapi menarik. Jarang orang punya tatapan seperti itu.

Pernah suatu kali aku dipergoki Brial, temannya. Saat itu aku berdiri di dekat pilar koridor dan memperhatikan dia yang tampak serius dengan bola basketnya. Saking asiknya, bibirku nyaris mencium pilar itu.

Aku begitu terhipnotis oleh aksinya sampai sebuah suara menggetarkan daun telingaku lalu organ-organ selanjutnya.

                “Ehem, mantengin siapa Ta?” Briel tiba-tiba disebelahku.

Aku gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Karena di lapangan hanya ada dia dan Rio. Masa aku bilang sedang memperhatikan Rio? Tak mungkinlah. Karena, maaf ya, tampang Rio itu di bawah rata-rata. Alisnya hitam dan tebal, wajahnya segituga terbalik, kulitnya putih, bibirnya tebal seperti orang negro, pesek pula.
Tapi kalau aku jawab dia, astaga, bisa gaswat!

                “Hei, Atalanta? Jawab dong,” desak Briel.

                “Hah? Aku? Aku...ohh...”

                “Dastan ya?” Briel menatapku lekat-lekat. Aku hanya menunduk.

                “Hahaha...” tawa Briel pecah. Dia cekikikan. “Ta, Ta, ngaku aja. Santai kalo sama aku. Dastan kece kok. Enggak salah kamu naksir dia,” ujarnya.

Sok tau amat. Seolah raut wajahku berkata begitu. Namun hati ini jingkrak-jingkrak entah di atas genting, kabel listrik, atau malah selokan.

                “El, plis ya, biasa aja,” aku  berusaha melontarkan nada sinis. Briel meneruskan tawanya.

                “Tapi iya, kan?”

Tersentak. Diam.

                “Atalanta? Ciyus deh,”

Bimbang. Masih diam.

                “Kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Diam. Kutatap bola matanya. Ada guratan meyakinkan yang kutangkap. Aku mengangguk pelan.

                “Nah!” teriaknya. “Das...!”

                “Sssttt!!” aku berusaha membungkam mulutnya. Tapi aku terlambat satu detik. Tangannya sudah mengunci tanganku.

Sial! Makiku dalam hati.

Untungnya, Briel tak menyelesaikan ucapannya. Dan lelaki itu juga tak mendengar teriakan Briel.
                “Haha, enggak enggak Ta, kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Aku mencibir.

                “Cungguh?” tanyaku.

                “Iya, janji deh,”  dia memberikan jari kelingkingnya. Aku menatapnya datar.

                “Oke, aku percaya, di jaga lho,” ujarku mengaitkan kelingkingku.

                “Beres,” dia tersenyum. “Selamat menikmati kekeceannya,” ditepuknya pundakku, dan berlalu.

@@@

Kali ini dia membalas tatapanku. Mata cokelat kebiruan itu menelisik gunung dan lembah yang tertata di wajahku. Dagu, bibir, hidung, akhirnya mata kami bertemu. Aku langsung salah tingkah.malu sekali ketahuan sedang mengamatinya. Dia menembakkan pandangannya padaku selama beberapa detik sampai sesosok lelaki dengan kisaran umur 50-an mendekatinya. Pak Mulyadi, guru fisika.

Ini aneh. Dia baru menatapku hari ini, tepat 2 hari setelah Briel tahu aku sering memperhatikannya. Apa jangan-jangan Briel laporan ke dia? Oh mak!

                “Ta, kamu ngapain?” otakku menerjemahkan laporan dari telinga. Itu suara Judith. Aku tak sadar kalau saat itu aku sedang membentur-benturkan kepalaku ke tembok seperti orang yang di-PHK.
Eh?

                “Ha? Oh enggak,” aku gelagapan. Guoblokkk! Aku mengutuki diri sendiri. Dibelakang Judith ada Nayla dan Vanessa yang menatapku bingung. Juga ada berpasang-pasang mata lain yang lewat sambil memperhatikanku dengan geli.
Astaga, ini konyol sekali.

@@@

Aku tak dapat duduk tenang di kursiku. Rumus-rumus trigonometri di papan tulis tak dapat menarik perhatianku. Aku merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasiku. Di sekitar sini! Tapi aku belum menemukannya.

Kutengok kanan-kiri dengan gelisah. Judith, Nayla, Vanessa, dan yang lain tampak sibuk merekam rumus dengan mata dan memerintahkan tangan untuk menuangnya di buku catatan. Kulirik Viola, teman semejaku yang juga sibuk dengan pikiran dan catatannya. Aku memaksa diriku melakukan seperti apa yang teman-teman lakukan. Aku tak mampu. Kegelisahan masih menguasaiku.

Aku menengok ke kanan, mengamati setiap obyek yang bisa kutangkap. Yah, siapa tahu yang mengamatiku adalah sepasang mata kucing, cicak, tikus, kecoa, atau malah semut-semut merah.
Pandanganku sampai pada arah jam 4. Dan setelah obyek ketiga mataku menangkap sesosok tubuh dengan style yang kukenal duduk di tangga aula, pinggir lapangan. 
Lelaki itu.

Tubuhnya dibalut kaos olahraga, putih dengan ornamen biru tua dan kuning. Kakinya yang telanjang terlihat kotor, rambutnya basah oleh keringat. Dan matanya, matanya menatapku. Atau kalau aku terlalu PD, ya matanya menatap kelas ini. Pokoknya daerah sini!

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu dan mataku masih terkunci pada sosoknya. Dia juga masih menatapku, ehm, maksudku daerah sini. Lalu dia menyunggingkan senyum dan mengangguk. Aku kaget. Kutengok kiri. Aku hanya melihat teman-teman yang masih serius dengan buku masing-masing. Tak ada yang menatap keluar jendela, arah jam 4 kecuali aku.

Aku kembali menatapnya. Dia tersenyum simpul, menaikkan dagu, membawa sepatunya, lalu berdiri.

Aku menunduk.

Apa maksudnya menyapaku?

@@@

                “Ba!” sebuah suara mengagetkanku. Aku tersentak. Ternyata Briel.

                “Apa sih?” ujarku sedikit mangkel. Dia terbahak.

                “Gimana Dastan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

                “Ada kemajuan,” jawabku singkat.

                “Oh ya?”

Aku mengangguk.

                “Bagus dong,” Briel tersenyum. “Kemajuan gimana?”

                “Entahlah, ini aku yang berlebihan atau memang fakta,” kulihat Briel mengangkat sebelah alisnya. “Kemaren dia menyapaku,” lanjutku.

Briel manggut-manggut.

                “Kau laporan ke dia ya?” tuduhku. Mata Briel melotot besar sekali.

                “Enggak! Aku udah janji enggak bilang sama siapa-siapa kan?”

                “Iya sih,”

                “Nah, yaudah,”

                “Terus, kenapa dia kemaren..,”

                “Entah,” potong Briel. “Pokoknya aku nggak bilang apapun ke dia soal kamu,”

Aku mengangkat bahu.

                “Aku ke kelas ya, daah,” ditepuknya pundakku.

Aku mengangguk. Kuambil camilan lalu membayarnya. Ketika kubalikkan badan, lelaki itu ada di belakangku. Mata kami beradu. Dia tersenyum, mengangguk.

@@@

Ini mengesalkan. Beberapa kali mata kami bertemu, dia hanya tersenyum dan menangguk. Itu saja. Lama-lama aku bosan. Tak ada pembicaraan yang dia buka. Aku tak lagi sering memperhatikannya seperti dulu. Malas. Apa gunanya mantengin sementara yang dipantengin hanya tersenyum dan mengangguk begitu?
Aku pilih menjauh. Marah, mangkel, bosan, memenuhi benakku setiap mengingatnya. Aku tidak benci. Tapi juga tak suka dibegitukan terus.

Ayolah Dastan, bicaralah!

@@@

Itu dia. Sedang duduk di kursi depan kelasnya. Arrgh!! Dia lagi, dia lagi. Bosan rasanya. Paling juga cuma tersenyum, mengangguk, dan berlalu.

Aku sempat menatapnya beberapa detik. Setelah itu kuarahkan pandanganku ke sisi lain. Tapi entah mengapa, aku tak bisa bertahan pada sisi lain itu. Mataku tergoda untuk menatapnya.

Akhirnya aku menuruti kata hatiku. Kulihat dia berjalan ke arahku. Dekat, dekat, semakin dekat. Aku melongo. Apa mataku tak salah?

                “Hai, cantik,” senyumnya. Jantungku berdebar. “Aku Dastan, boleh kita kenalan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar