Lagi-lagi aku merindukanmu. Entah mengapa, sudut kamar itu
membuatku mengenang peristiwa-peristiwa bersamamu.
Setelah beberapa hari terlepas dari hubungan denganmu, detik-detik yang berjalan seolah menyadarkanku pada satu hal. KAU BERARTI. Sangat berarti. Dan perasaan yang seperti itu serasa mengikatku kuat karena kau tak lagi berada di sisi.
Aku sempat merasakan tangan kuat lain yang merangkulku.
Hangat memang. Tapi itu rasanya belum bisa menyamai rangkulanmu apalagi
menggantikannya.
Hanya kau yang mampu membuatku setenang itu. Hanya kau.
Hanya tanganmu, hanya tanganmu, hanya dekapanmu, hanya bibirmu. Tak ada yang
lain. Harus kuakui itu.
Aku tak pernah merasa bebanku benar-benar hilang saat tangan
orang lain menggelitik Korpuskula
Meissner-ku. Sekalipun itu dengan kehangatan maksimal yang mampu mereka
kirim.
Aku memang bisa bersandar dimanapun aku mau. Tapi itu semua sia-sia. Karena bebanku tetap saja melekat. Aku tetap ketakutan dengan bayangan negatif yang kucipta sendiri. Aku tetap merasa lelah saat hatiku dipaksa memperhatikan persimpangan yang ada lalu mengambil keputusan.
Aku butuh meski hanya satu menit berada di dalam keadaan yang tenang pun damai.
Aku memang bisa bersandar dimanapun aku mau. Tapi itu semua sia-sia. Karena bebanku tetap saja melekat. Aku tetap ketakutan dengan bayangan negatif yang kucipta sendiri. Aku tetap merasa lelah saat hatiku dipaksa memperhatikan persimpangan yang ada lalu mengambil keputusan.
Aku butuh meski hanya satu menit berada di dalam keadaan yang tenang pun damai.
Dan yang mampu mewujudkannya hanya kau.
Padahal kau tak lagi ada di dekatku. Kau jauh. Sangat jauh.
Sementara hati kita juga sudah berbeda.
Lalu aku bisa apa? Marah? Menangis? Putus asa?
Lalu aku bisa apa? Marah? Menangis? Putus asa?
Tidak.
Toh semua itu tak membuat tangan kuatmu kembali.
Hey, aku masih membutuhkanmu. Aku meindukanmu. Tapi, yah.
Aku cukup tahu diri.
Maaf.
Andai aku bisa menyelesaikan masalahku tanpa merasa lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar