Kamis, 01 November 2012

Aku Rela


            “Serius sekali?” ujarnya ketika aku asyik menegtik. Ia lalu duduk di sebelahku. Aku tak menjawab
.
            “Hey,” katanya. Berusaha menarik perhatianku. Aku masih diam.

            “Ngetik apa sih?”

Diam.

            “Astaga, aku dikacangi,”

Diam.

            “Priska?” dipanggilnya namaku. Aku mengeluh dalam hati, Bersungut-sungut karena dia mengganggu kerja otakku. Melihatku yang tetap cuek dengan sapaannya, dia melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku mendesah. Jemariku berhenti mengetik. Kuarahkan pandanganku ke matanya.

            “Apa?” ujarku. Tak niat. Sedikit judes.

            “Kau cuek,”

            “Oh, gitu?”

            “Ya.”

            “Emang kenapa kalo aku cuek?”

Meringis. Dipamerkannya gigi yang rapi dengan behel hijau muda itu.

            “Enggak tau apa kalo aku lagi serius?”

Meringis lagi. Aku mengeluh. Kumatikan laptop dan memasukkannya dalam tasku. Dengan wajah ditekuk aku berdiri. Lalu aku berjalan meninggalkannya. Baru sekitar 10 meter aku melangkah, derapannya menuju ke arahku. Bisa kutebak, dia pasti memajang wajah jenaka itu. Dia terbahak. Tangan kirinya melingkar di leherku. Berat. Aku mendengus kesal. Masih dengan wajah yang galak.

            “Ayolah Priska, kan aku cuma bercanda,” bujuknya manis.

            “Iya.”

            “Jangan marah dong,”

            “Enggak kok,”

            “Aa ciyus?”

            “Hm,”

            “Enelan?”

            “Hm,”

            “Miapah?”

Diam.

            “Hey?”

            “Miatamu!” aku berteriak. Dia nyaris melompat terkejut. Wajahku semakin kutekuk. Kesal. Padahal dalam hati aku senang sekali.

            “Eh, jangan marah dong,” dia memelas.

            “Rese ah,”

            “Ya, aku minta maaf deh,” dia mengulurkan tangan dan tersenyum. Entah tulus, entah tidak.

            “Minta maaf yang bener,”

Dia meringis lagi. Menempatkan tubuhnya tepat di hadapanku. Berdiri tegak, berdehem. Aku menatapnya.

WOW, aku terpesona dalam hati. Dia tampan sekali. Punya wajah oval yang sempurna. Matanya sipit, hidung kecil yang mancung, dagu belah, dan kulit putih. Andai aku bisa jadi orang yang dicintainya. Apa mungkin?

            “Priska, aku minta maaf ya, yang tadi cuma bercanda kok, janji ga bikin kesel lagi,” senyumnya mengenbang. Tampaknya tulus. Akhirnya aku tersenyum. Wajahnya yang manis nan jenaka itu seolah memanggil-manggil senyumku.

            “Ya deh,” kataku, masih berusaha mempertahankan nada yang galak. Dia tertawa, dan bodohnya, aku ikut tertawa.

Lalu kami berbaikan. Selalu begitu.

Dia menggodaku, aku marah, kemudian aku meninggalkannya dan dia mengejarku. Meminta maaf dan berkata apa saja yang bisa membuatku tertawa lagi.

Ya seperti itulah. Kami memang dekat. Aku mengenalnya sejak akhir kelas 8, sudah 2 tahun yang lalu. Gara-gara aku dan dia menjadi satu tim madding yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba bersama dua teman lainnya. Karena satu tim, mau tidak mau kami pasti berkominukasi. Awalnya hanya sebatas madding saja. Lama-lama kamu saling bercerita mengenai banyak hal.
Persahabatan kami semakin erat karena entah kebetulan atau tidak kami mendaftar di SMA yang sama dan ditempatkan di kelas yang sama pula.

Dan selama itu, aku menyimpan perasaanku yang sebenarnya. Aku mencintainya. Ya, sungguh. Tapi aku tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Dia saja tak pernah menyinggung soal perasaannya padaku. Masa iya, aku sebagai wanita bilang kalau aku suka dia?

Aku tak pernah tahu dan tak mau menebak-nebak mengenai hatinya. Itu bukan urusanku.
Pernah beberapa kali dia bercerita tentang cinta. Tentang wanita-wanita yang pastinya serba lebih dariku. Lebih cantik, pintar, kaya, dan lain-lain. Hanya sekedar cinta monyet tapi. Bukan cinta yang sesungguhnya. Karena dia mudah menaruh hati pada wanita cantik. Padahal mereka yang cantik di sekeliling kami adalah wanita yang tak setia. Playgirl.

Jadi, dia hanya cinta, cinta biasa. Atau mungkin akan lebih tepat dikatakan ‘mengagumi’.
Dari cerita-ceritanya, aku bisa menyimpulkan kalau aku tak pantas untukknya. Apa yang mau dibanggakan dariku? Aku tak bergelimang harta, prestasi hanya di bidang sastra saja, itupun tak seberapa. Aku juga tak cantik (menurutku).

Sering aku berharap, dia bisa belajar mencintai dari hati. Bukan fisik. Fisik itu kan tak menjamin. Yang terpenting adalah hati.
Tapi aku tak pernah menyarankannya mengubah tipe wanitanya. Aku tak berhak untuk itu. Dan mengenai perasaanku, aku tetap menyimpannya rapat-rapat dalam hati. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu hal ini.

L L L

Jam pelajaran terakhir pun usai. Bel yang nyaring membangkitkan senyum kami, anak SMA yang sudah lelah dan bosan dengan materi-materi rumit. Satu persatu dari kami mulai keluar kelas. Beberapa terlihat semangat, mungkin tak sabar ingin bertemu si kekasih hati. Beberapa memajang muka mengantuk.
dalam hitungan menit, kelaspun sepi. Hanya tinggal aku dan lelaki yang kucintai dalam diam itu. Ia bangkit, menggendong tas hitam bergaris hijaunya di pundak kanan. Ia melewati mejaku dan memukulnya pelan. Wajahnya tampak menyimpan kesenangan.

            “Katanya mau cerita?” aku setengah berteriak.

            “Iya. Ayo ikut,”

Aku menutup tas, menggendongnya lalu keluar kelas mengikuti dia. Kujajari langkahnya. Tangannya yang kuat itu mulai melingkar di leherku. Berat. Tapi dalam hati rasanya ingin lompat-lompat. Terbang.

            “Laper nggak?” dia bertanya. Aku mengangguk.

            “Haus pula,” kataku. Dia terbahak.

            “Makan yuk,” ajaknya. Aku hanya mengangkat bahu.

            “Haha, ayolah, aku traktir deh,” dia menguatkan rangkulannya dan berjalan lebih cepat.

Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan dia ceritakan kali ini. Wajahnya seperti....seperti.... ah, ya. Wajah lelaki sedang jatuh cinta.
Siapakah wanita itu?

            “Ada yang menarik akhir-akhir ini,” katanya sambil meneguk es jeruk.

            “Oh ya?” aku mengguklung mie dan memasukkannya ke mulut. Dia mengangguk.

            “Dia beda, nggak setipe sama yang aku pernah cerita.” Tiba-tiba jantungku berdebar.

            “Oke, sekarang saatnya gue bilang wow,” aku setengah bercanda. “Siapa dia?” tanyaku.

            “Dia sekolah di sini kok,” katanya sembari melahap bakso. Harus kuakui, ada rasa senang yang mengalir di darahku. Dalam gambaran, aku bisa saja terbang, melayang entah sampai langit ke berapa.

            “Rambutnya panjang,” dia mulai menyebutkan cirri-cirinya. Itu membuat jantung dan rasa ini menari-nari. Itu cirri-ciriku! Seolah aku ingin berteriak-teriak sampai ke sudut kota.

Aku punya rambut panjang, lesung di bawah bibir sebelah kiri, kulitku sedang, tidak kuning langsat, sawo matang juga tidak, wajahku segilima. Bulat sebatas rahang, dan meruncing ke dagu. Tirus.

Astaga, dia benar membuatku terbang hari ini. Aku berbicara sendiri dengan diriku. Berusaha mengendalikan rasa bahagia ini. Untung berhasil. Yang Nampak fisik hanya segores senyumku saja.

            “Namanya siapa?” tanyaku masih sangat antusias.

            “Namanya?” dia mengulang pertanyaanku.

Aku mengangguk.

            “Hahaha...” dia tertawa. Matanya menatap penuh arti. “Tunggu ceritaku selanjutnya,”

Hening.

Dia meneguk es jeruk dan mengunyah bakso terakhirnya. Aku merenung. Adakah itu aku?

Entah.

Aku hanya bisa berharap jawabannya adalah ya. Aku geli dalam hati. Lalu kembali serius dengan makananku.

L L L

            “Tiara, jadi cerita enggak?” aku berdiri di depan kelas Tiara, sahabatku sejak kelas 1 SD.

            “Tunggu bentar,” katanya. Masih sibuk memasukkan buku ke tasnya. Aku bersandar di pintu. Sebuah bayangan melintas di belakangku. Spontan, aku menoleh.

Oh, kataku dalam hati. Ternyata dia, lelaki berbehel hijau muda itu. Ia tersenyum padaku. Lalu melongok ke dalam kelas. Dilihatnya Tiara yang masih sibuk dengan buku-bukunya. Senyumnya semakin manis. Kemudian dia berjalan kea rah utara dan menghilang di balik tangga.

Tiba-tiba saja aku jadi berpikir. Dia tak pernah tersenyum semanis itu kalau tidak mengenal siapa orangnya. Aku hafal betul dengan kebiasaannya. Ia sudah terseyum begitu manis dan bersahabat pada Tiara. Apa artinya mereka sudah saling mengenal? Tapi kenapa dia tak pernah bercetita padaku? Dasar!

Pemikiranku terputus ketika Tiara menarik lenganku. Aku mengikutinya. Kami duduk di bangku depan kelasnya.

            “Aku jatuh cinta,” matanya berbinar, bahagia. Lesung pipitnya muncul bersama senyumnya.

            “Cieeee...” aku ikut bersemangat. Senang karena dia sudah berhasil move on dari Vian. “Sama siapa?” tanyaku. Tiara mulai bercerita.

Mereka bertemu di toko buku. Tanpa sengaja, Tiara menjatuhkan sebuah buku ketika tangannya mengambil buku lain. Sebelum ia sempat mengambilnya, tangan seorang lelaki sudah lebih dulu mengembalikannya ke tempat semula.
Merekapun berkenalan. Saling bertanya soal hal-hal di sekitar mereka. Si lelaki menawarkan diri untuk menemani Tiara sepanjang sore. Sudah cukup banyak topic yang mereka bicarakan. Akhirnya mereka pulang setelah bertukar nomor handphone.
Dari situlah mereka mulai dekat. Dan seperti yang Tiara katakana di awal, perkenalan mereka berujung pada, ya. CINTA. Namun dalam ceritanya, Tiara tak menyebut nama. Hanya cirri-ciri saja.
Dia bilang lelaki itu punya badan yang tegak. Wajahnya oval. Mata sipit, hidung mancung dengan behel menghiasi giginya.

Aku tersentak. Sepertinya aku mngenal cirri-ciri itu. Tapi siapa ya?

          “Kamu kenal kok sama dia,” Tiara menutup ceritanya. Aku semakin keras berpikir. “Besok kamu pasti tahu,” dia tersenyum. “Aku pulang duluan ya,”

Aku mengangguk. Penasaran tapi juga bersyukur karen Tiara sudah mendapat pengganti Vian. Semoga lelaki ini bisa membuatnya bahagia. Amin.

L L L

1 minggu kemudian...

            “Priska!” seseorang memanggil namaku. Aku menoleh.

            “Hey,” ternyata Tiara. Wajahnya terlihta senang. Sangat senang. “Ada apa?” tanyaku.

            “Aku kan janji mau ngasih tahu kamu soal cowok yang aku suka itu kan?”

            “Oh, iya,” aku tersenyum. Penasaran.

            “Nah, sekarang saatnya kamu tahu,”

Aku mengangguk.

            “Sayang?” panggil Tiara. Sesosok tubuh lelaki berjalan ke arah kami.

            “Yanuar,” katanya bangga. “Sudah kubilang kamu kenal,”

Yanuar meringis, memamerkan behel hijau penghias giginya.

            “Perlu kenalan lagi enggak?” goda lelaki itu mengulurkan tangan. Hatiku serasa meledak.

Ternyata lelaki yang diceritakan Tiara adalah Yanuar. Sosok yang kucintai dalam diam itu. Dan cirri-ciri yang disebutkan Yanuar ternyata bukan cirri-ciriku. Hanya mirip. Aku dan Tiara secara fisik memang memiliki banyak kesamaan. Yang membedakan kami, rambutku ikalpanjang. Lesing pipitku di bawah bibir sebelah kiri. Sedang Tiara berambut lurus, sama panjangnya denganku. Lesung pipitnya menghiasi pipi kanan dan kiri.

Aku yang sudah melayang tinggi akhirnya jatuh ke palung laut.
Pupus sudah segala harapanku. Hancur, berkeping-keping. Tak ada lagi yang tersisa. Perih. Perih. Perih. Hanya ada perih.

Berusaha aku mengendalikan rasa sakit ini. Sekali lagi aku berhasil. Aku bisa terbahak.

            “Sial, jadi ceritanya, selama ini kita nggak kenal gitu?” candaku. Kami bertiga tertawa. Aku menyalami mereka. Kudoakan supaya langgeng. Mereka tersenyum bahagia. Lalu berbalik. Yanuar merangkul Tiara dan Tiara melingkarkan tangannya di pinggang lelaki itu.

Aku memandang mereka. Tersenyum dalam kepahitan menyadari kenyataan yang ada. Memang itu semua salahku. Salahku yang tak pernah berani mengungkapkan perasaan ini. Dan sekarang semua sudah terlambat. Aku tak mungkin berucap dan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Sudahlah aku rela. Aku rela meski harus menukar cintaku dengan rasa sakit.

Aku berjalan menuju kelas. Yang tidak dilihat orang adalah dua butir airmata bening yang jatuh dari kedua sudut matakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar