Terimakasih kepada Pak Chinda,
guru Bahasa Jawa
yang telah memberi saya inspirasi
untuk penulisan cerita ini J
guru Bahasa Jawa
yang telah memberi saya inspirasi
untuk penulisan cerita ini J
Aku sedang di kantin bersama Nita dan Dera ketika sosok itu
datang. Ya, dia yang masih menjadi teka-teki untukku bahkan sampai detik ini.
Aku menyayanginya. Dan kalau boleh jujur, sayangku itu bisa diartikan ‘cinta’.
Konyol memang. Karena dia selama ini tak pernah benar-benar serius soal
perasaannya. Aku saja yang kelewatan. Tapi, inilah faktanya. Tak bisa
kupungkiri.
Aku tetap diam sembari menelisik lekuk-lekuk wajahnya yang
tampan itu. Dia menatapku dengan misterius, tak tertebak. Lalu mulai mendekat.
“Bum!”
tangannya memegang lenganku.
“Eh,
ini ngapain sih?” kataku kaget. Dia tersenyum simpul.
“Pacaran!”
teriaknya. Aku tersentak. Dalam hati senang sekali. Dia sudah berani mengakui rasanya untukku. Yah, siapa tahu, tak lama
lagi aku benar-benar jadi pacarnya. Nita dan Dera yang sedang membawa
masing-masing semangkuk soto melirik ke arah Arjuna.
“Aku
denger lho Jun,” ucap Nita nakal.
“Ha?
Emang aku tadi ngomong apa sih?” Arjuna berlagak tak tahu. Tangannya memegang
erat tanganku. “Aku tadi ngomong apa?” tanyanya sok.
“Nggak
tau, emang ada yang ngomong tadi?” aku ikut bersandiwara. Lalu kami berempat tertawa.
Nita dan Dera melewatiku dan Arjuna sambil geleng-geleng kepala.
Setelah dua orang tadi bergabung dengan Agata dan Sari,
tangan Arjuna mulai mengambil camilan, membayarnya lalu berjalan ke arah kolam.
Aku mengikutinya.
“Udah
putus po?” ujarnya duduk di tepi kolam sambil memasukkan camilan ke mulut.
“Udah,”
kataku ikut duduk. “Tapi pake dimarahin segala,”
“Ya
bagus dong!” teriaknya. Nada suaranya terdengar jahat. Dan bodohnya, aku tak
benar-benar menyadari itu. Dia tersenyum, seolah matanya mengandung arti,
‘bagus, kena kau!’. Aku mendelik.
“Kok
bagus sih?” protesku. Dia tertawa.
“Haha,
maksudnya bagus, berarti besok-besok kamu nggak dimarahin lagi,”
“Ohh...”
Dia berdiri. “Nggak makan po?” katanya padaku ketika melihat
Nita, Dera, Agata, dan Sari serius dengan makanan mereka masing-masing.
“Enggak,”
jawabku singkat.
“Nggak
laper po?”
Aku hanya tersenyum.
“Dia
kan sukanya makan cabe Jun,” celetuk Nita. Dera, Agata, dan Sari terbahak.
Arjuna membalikkan badan lalu mengambil sebuah cabai dan
mendekatkannya ke mulutku. Aku tertawa.
“Sial,
diambilin beneran,” kataku menepis tangannya.
Dia ikut tertawa. Membuang cabai itu lalu memegang leherku
lalu melingkarkan lengannya. Untuk beberapa detik aku menahan nafas. Tiba-tiba
jantungku berdegup kencang.
Arjuna!!
Aku sayang kamu!!
Aku sayang kamu!!
-oOo-
Aku berjalan keluar kelas. Menuju kantin bersama
sahabat-sahabatku. Diam-diam mataku mencari-cari Arjuna. Tapi aku tak
menemukannya.
Mungkin dia sudah di kantin, kata hatiku.
Mungkin dia sudah di kantin, kata hatiku.
Kantin ramai ketika kami sampai. Aku dan Dera menunggu Nita,
Agata, Sari, dan Febi menukar uang mereka dengan makanan.
Lagi-lagi mataku menyapu kantin, mencari Arjuna. Dan ketika aku menengok ke kiri, punggung dengan seragam OSIS yang kukenal itu melintas begitu saja. Dibelakangnya ada wanita bertubuh tinggi semampai, kulit putih, berkerudung rapi, dengan wajah cantik. Anissa. Sang mantan.
Lagi-lagi mataku menyapu kantin, mencari Arjuna. Dan ketika aku menengok ke kiri, punggung dengan seragam OSIS yang kukenal itu melintas begitu saja. Dibelakangnya ada wanita bertubuh tinggi semampai, kulit putih, berkerudung rapi, dengan wajah cantik. Anissa. Sang mantan.
Deg.
Hatiku serasa diiris-iris. Perih. Airmata meleleh tanpa
mampu kupagari.
Dia tak menyapaku. Apa
aku tak kelihatan?
Ini bukan kali pertamanya kulihat Arjuna dengan Anissa.
Sepertinya mereka mulai dekat lagi. Aku merasa Arjuna mulai menjauhiku semenjak
aku putus dengan Naftali.
Dera menutupi wajahku dengan selembar kertas saat mereka
lewat. Percuma. Meski hanya satu detik aku melihat mereka, airmataku sudah
jatuh entah berapa tetes.
“Devina..”
Febi menyentuh lenganku. Aku mengangguk. Mengerti maksudnya menyebut namaku.
“Dev,
barusan si Juna jalan sama...” belum sempat Nita menyelesaikan kalimatanya, Dera
memelototinya dengan galak. “Aa, maaf Dev, maaf, aku nggak tau,” sesal Nita
begitu menyadari aku sedang menangis. Aku hanya bisa tersenyum kecut diantara
lelehan airmataku.
Ya Tuhan, sungguh, ini
sakit. Kenapa dia jalan dengan Anissa di depan mataku? Apa dia itu PHP?
-oOo-
Beberapa saat lamanya aku diam. Mataku mengawasi Tere yang
sedang asik mengutak-atik laptop bersampul biru laut itu. Otakku
berputar-putar, mencari-cari topik yang bisa kubahas dengannya. Dan aku
menemukan itu.
“Re,
apa menurutmu dia itu PHP?” tanyaku. Tangan Tere berhenti menari di atas
keyboard.
“Dia?
Siapa? Juna?”
Aku mengangguk.
“Hm?
Kok kau bisa bilang begitu? Apa sebabnya?”
“Entahlah,
dia itu aneh,”
“Maksudmu?”
“Gimana
ya? Dia memperlakukanku seperti layang-layang. Diulur, ditarik, ulur lagi,
tarik lagi,”
“Lalu?”
“Ya aku
heran. Dia bilang dia sayang. Tapi mengapa tarik ulur begitu? Kalau tak sayang,
apa gunanya dekati aku? Maksudku, kalau dekati sebagai sahabat, aku tak
masalah. Tapi ini? Masa iya sahabat seringkali manggil ‘sayang’? Coba pikir
deh,”
Tere diam. Raut mukanya seperti sedang berpikir keras.
Ditaruhnya laptop di lantai. Tangannya menopang dagu, matanya memandang ke
lantai.
“Bagaimana?”
tanyaku tak sabar.
Masih diam.
“Ayolah
Re, kau biasanya cepat mengenai hal ini,” aku mendesak. Tere menghela napas.
“Kita
tak bisa ambil kesimpulan sekarang Dev. Jangan terburu. Ini masih kurang
jelas.”
“Kurang
jelas? Astaga, lalu sampai kapan aku bisa mengerti dia?”
“Sabar
Dev. Hanya waktu yang bisa menjawab. Lagipula dia tipikal orang yang sulit
ditebak. Kalau aku bilang PHP, iya kalau dia benar PHP. Kalau tidak?
Gantian aku yang diam.
“Amati
saja dia,” saran Tere. “Hanya itu yang bisa kau lakukan,”
-oOo-
“Temen-temen,
jangan pulang dulu ya, kita latihan upacara dulu,” suara Nita mampir ke telinga
kami. Aku mengeluh. Sabtu ini panas. Pelajarannya melelahkan. Dan kami harus
latihan upacara. Senin besok kelas kami bertugas.
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju lapangan.
Meletakkan tas dan jaket di kursi depan 9ß, kelas Arjuna. Aku
benar-benar malas hari ini. Mataku tak mencari-cari sosoknya. Lagipula aku masih
kesal soal kejadian Kamis lalu. Saat dia jalan dengan Anissa di kantin.
“Dev,
paduan suaranya disiapin,” Pak Wicaksana menyuruhku. Aku mengangguk dan
melakukannya. Siang itu aku fokus pada tugasku sebagai dirigen sampai sesosok
tubuh lelaki dengan rompi hitam bergaris oranye dan biru melintas di sebelah
utara, sekitar 7 meter dari tempat aku berdiri. Tiba-tiba aku kehilangan fokus.
Mataku tergoda untuk menatapnya.
Arjuna terus mengawasiku di antara langkah-langkahnya. Bahasa tubuhnya berkata, ‘ayo semangat Devina!’.
Aku tertegun.
Apa maksudnya?
-oOo-
“Hai,”
Bayu, teman akrab Arjuna menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya mengangguk,
wajahku masih kutekuk.
Hening.
“Kok,
mukanya gitu banget? Kenapa?” katanya mengamati raut wajahku.
Sebenarnya aku malas cerita. Tapi menatap sinar mata Bayu,
dan mengingat kalu dia adalah teman akrab Arjuna, kupikir tak ada salahnya ia
tahu persoalanku. Siapa tahu dia bisa bantu.
“Kamu
mau sembuh dari galau?” Bayu bertanya ketika aku mengakhiri ceritaku. Tentu
saja aku mengangguk. Dia tersenyum penuh arti. “Oke, liat aja nanti siang.
Istirahat les.” Lanjutnya. Lalu dia berbalik meninggalkanku.
Aku hanya melongo.
Apa lagi ini?
-oOo-
Akhirnya jam pelajaran terakhir pun usai. Aku sedikit
bernapas lega. Kulirik jam. Bagus, aku punya 40 menit sebelum masuk les.
Dera mendekatiku. Dan kami berjalan menuju kantin. Setelah
sampai, mataku menangkap lelaki dengan tas abu-abu tua bergaris cokelat muda.
Senyumku mengembang. Itu Bayu.
“Hei,
gimana?” kataku to the point.
“Oh,
aku tadi tanya sama Juna, ‘kamu dulu kan deket banget sama Devina, kenapa
sekarang jadi jauh banget?’ “
“Terus?”
kataku penuh perhatian.
“Terus
dia jawab gini, ‘loh? Suka-suka aku dong, terserah aku. Kan sekarang udah ada
Anissa. Ngapain ngurusin dia?’ gitu,”
Deg.
Aku serasa disambar petir. Hanya bisa melongo dan dengan
lirih berkata ‘hah?’ begitu mendengar kalimat Bayu. Hatiku mulai berkecamuk
dengan emosi meluap layaknya anak kecil yang tak diberi mainan.
Apa maunya? Apa dia
pikir aku layang-layang yang bisa ditarik-ulur? Aku manusia! Wanita yang punya
hati dan rasa!
Dera muncul sambil membawa segelas air mineral. Dengan wajah
datar ia menatapku, lalu Bayu. Aku meliriknya beberapa detik. Oke, aku tak bisa
lebih lama menahan emosi ini.
“Oke,
makasih bantuannya ya, aku ke kelas sekarang,” kataku pada Bayu. Dia tersenyum
dan mengangguk.
“Kita
bisa ke kelas sekarang?” aku mendekati Dera sambil berusaha menahan airmata
yang berebut ingin keluar ini.
“Dev?
Dev? Kenapa?” Dera panik dan mengikuti langkah cepatku.
Bruk!
Kulempar tas dan menjatuhkan diriku di kursi kelas 9ζ.
Kusilangkan tangan di meja dan meletakkan kepalaku di atasnya.
Hening.
Lalu airmata.
“Dev? Ada
apa? Bayu bilang apa?” Dera menanyaiku dengan takut-takut. Sesenggukan
kuceritakan semuanya sesingkat mungkin.
“Astaga,
maunya apa sih?” katanya mangkel. Aku hanya mengangkat bahu dan meletakkan
kepalaku lagi. Membiarkan bertetes-tetes airmata keluar demi dia. Arjuna.
-oOo-
Senin, istirahat setelah jam pelajaran ke-4.
Aku sudah cukup bisa menguasai diriku. Sudah bisa terbahak seperti
biasa meski dalam hati luka itu masih ada.
Kuberjalan menuju kantin dengan Febi sembari membahas topik-topik
ringan di sekitar kami.
“Juna nanyain
kamu,” kata Dera. Ternyata dia sudah mendahului aku.
“Tanya apa?”
“Devina mana?”
“Terus kamu
jawab?”
“Nggak aku
jawab. Habisnya kamu langsung nongol di sini,”
“Ohh...”
Kusapukan pandanganku. Tak berapa lama aku menemukannya di antara
sekian siswa yang berebut mengambil jajanan. Jantungku berdegup kencang. Aku
melirik Dera.
“Tanya aja,”
katanya seolah mengerti apa yang kupikirkan. Aku mengangguk. Kudekati dia,
kusentuh bahunya. Dia menoleh.
“Kamu mau
balikan sama Anissa po?” bisikku tepat di telinga kirinya. Dia menangkat alis.
Seperti heran dengan pertanyaanku.
“Ha? Enggak tuh,”
Aku tersenyum. Manggut-manggut.
“Kenapa sih?”
tanyanya balik dengan logatnya yang khas. Matanya menyimpan kebingungan. Aku
menggeleng.
“Enggak,
nggak papa kok,” ujarku singkat lalu berbalik meninggalkannya sebelum dia
menghujaniku dengan pertanyaan yang memojokkan. Dera mengikutiku. Menjajari
langkahku.
“Gimana?”
tanyanya.
“Katanya sih
enggak,” jawabku. Dera mengangguk. Aku melirik ke arah kiri-bawah. Dan kurasa
ada langkah yang kukenal mendekati kami.
“Ada apa sih?
Kok kamu bisa tanya gitu?” Arjuna menanyaiku sambil berusaha mengimbangi
langkahku. Aku sedikit bingung bagaimana menjawabnya.
“Enggak, cuma
tanya aja kok,”
“Kok kamu
bisa tanya gitu?”
“Haha, enggak
papa, soalnya sempet denger dari temen, jadi aku tanya ke kamu,”
“Oh,”
Hening.
“Kamu enggak bakal
balikan kan?” tanyaku memastikan. Dia melirikku.
Hening.
“Kalo iya,
kenapa?”
-oOo-
Aku langsung menggenggam handphone-ku lalu mencari-cari nama Tere
di kontak.
Nah, ini dia. Kutekan tombol call.
Tuuu...t... tuuu...t...
Halo?
Halo, Tere?
Kau di rumah?
Ya. Ada apa?
Aku mau
cerita. Nanti.
Kuakhiri panggilan.
-oOo-
Akhirnya sampai juga. Kuketuk pintu rumahnya. Seorang wanita paruh
baya muncul di balik pintu.
“Oh, kau
nak,” beliau tersenyum ramah. Tangannya mempersilahkan aku masuk.
“Ya tante.
Tere ada?”
“Ada, di
kamarnya,”
Aku langsung menuju kamar Tere, lalu masuk. Kulihat dia sedang
membaca sebuah buku. Ditutupnya buka bersampul siluet wayang itu begitu
melihatku.
“Cerita apa?”
tanyanya saat aku duduk di tempat tidurnya.
“Tentang Juna.”
“Ha!”
teriaknya. Seolah tebakannya benar. “Sudah kuduga,” ia tertawa. “Ini,” dia
menyerahkan buku tadi. Aku menerimanya. Kubaca judulnya. Sejarah Wayang Purwa.
“Cari nama
Arjuna di situ. Baca keterangan tentang istrinya untukku,”
Aku menurutinya.
Aruna,
Arjuna, Arjuna. Tanganku mencari-cari nama itu di daftar isi. Nah ketemu. Aku tersenyum. Halaman 188.
Kubaca penjelasannya dalam hati.
“Sudah
ketemu?” suara Tere memecah keheningan. Aku mengangguk. “Baca,” katanya.
“Istrinya tak
terbilang jumlahnya, sehingga menjadilah peribahasa dalam bahasa Jawa untuk
mempersamakan seorang yang beristri lebih dari seorang atau yang berulang-ulang
kawin,..” aku memandang Tere dengan tatapan tak mengerti. “...dengan Arjuna,”
kututup buku itu.
“Berapa
istrinya” Tere menanyaiku.
“Banyak,”
“Banyak,”
ulangnya. “Berarti dia pantas punya nama Arjuna,”
Diam.
“Arjuna.
Arjuna. Tampan, sakti, berjiwa satria, playboy,” Tere menjentikkan jarinya.
“Dan mungkin dalam duniamu akan lebih tepat bila kutambahkan,..” ditatapnya aku
penuh arti. “..PHP,”
Aku mulai sadar.
Arjuna?
Tampan.
Playboy.
PHP.
KEPARAT!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar