Sabtu, 17 November 2012

Sang Arjuna


Terimakasih kepada Pak Chinda,
guru Bahasa Jawa
yang telah memberi saya inspirasi
untuk penulisan cerita ini
J


Aku sedang di kantin bersama Nita dan Dera ketika sosok itu datang. Ya, dia yang masih menjadi teka-teki untukku bahkan sampai detik ini. Aku menyayanginya. Dan kalau boleh jujur, sayangku itu bisa diartikan ‘cinta’. Konyol memang. Karena dia selama ini tak pernah benar-benar serius soal perasaannya. Aku saja yang kelewatan. Tapi, inilah faktanya. Tak bisa kupungkiri.

Aku tetap diam sembari menelisik lekuk-lekuk wajahnya yang tampan itu. Dia menatapku dengan misterius, tak tertebak. Lalu mulai mendekat.

                “Bum!” tangannya memegang lenganku.

                “Eh, ini ngapain sih?” kataku kaget. Dia tersenyum simpul.

                “Pacaran!” teriaknya. Aku tersentak. Dalam hati senang sekali. Dia sudah berani mengakui rasanya untukku. Yah, siapa tahu, tak lama lagi aku benar-benar jadi pacarnya. Nita dan Dera yang sedang membawa masing-masing semangkuk soto melirik ke arah Arjuna.

                “Aku denger lho Jun,” ucap Nita nakal.

                “Ha? Emang aku tadi ngomong apa sih?” Arjuna berlagak tak tahu. Tangannya memegang erat tanganku. “Aku tadi ngomong apa?” tanyanya sok.

                “Nggak tau, emang ada yang ngomong tadi?” aku ikut bersandiwara. Lalu kami berempat tertawa. Nita dan Dera melewatiku dan Arjuna sambil geleng-geleng kepala.

Setelah dua orang tadi bergabung dengan Agata dan Sari, tangan Arjuna mulai mengambil camilan, membayarnya lalu berjalan ke arah kolam. Aku mengikutinya.

                “Udah putus po?” ujarnya duduk di tepi kolam sambil memasukkan camilan ke mulut.

                “Udah,” kataku ikut duduk. “Tapi pake dimarahin segala,”

                “Ya bagus dong!” teriaknya. Nada suaranya terdengar jahat. Dan bodohnya, aku tak benar-benar menyadari itu. Dia tersenyum, seolah matanya mengandung arti, ‘bagus, kena kau!’. Aku mendelik.

                “Kok bagus sih?” protesku. Dia tertawa.

                “Haha, maksudnya bagus, berarti besok-besok kamu nggak dimarahin lagi,”

                “Ohh...”

Dia berdiri. “Nggak makan po?” katanya padaku ketika melihat Nita, Dera, Agata, dan Sari serius dengan makanan mereka masing-masing.

                “Enggak,” jawabku singkat.

                “Nggak laper po?”

Aku hanya tersenyum.

                “Dia kan sukanya makan cabe Jun,” celetuk Nita. Dera, Agata, dan Sari terbahak.

Arjuna membalikkan badan lalu mengambil sebuah cabai dan mendekatkannya ke mulutku. Aku tertawa.

                “Sial, diambilin beneran,” kataku menepis tangannya.

Dia ikut tertawa. Membuang cabai itu lalu memegang leherku lalu melingkarkan lengannya. Untuk beberapa detik aku menahan nafas. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

Arjuna!!
Aku sayang kamu!!

-oOo-

Aku berjalan keluar kelas. Menuju kantin bersama sahabat-sahabatku. Diam-diam mataku mencari-cari Arjuna. Tapi aku tak menemukannya.
Mungkin dia sudah di kantin, kata hatiku.

Kantin ramai ketika kami sampai. Aku dan Dera menunggu Nita, Agata, Sari, dan Febi menukar uang mereka dengan makanan.
Lagi-lagi mataku menyapu kantin, mencari Arjuna. Dan ketika aku menengok ke kiri, punggung dengan seragam OSIS yang kukenal itu melintas begitu saja. Dibelakangnya ada wanita bertubuh tinggi semampai, kulit putih, berkerudung rapi, dengan wajah cantik. Anissa. Sang mantan.

                Deg.

Hatiku serasa diiris-iris. Perih. Airmata meleleh tanpa mampu kupagari.

Dia tak menyapaku. Apa aku tak kelihatan?

Ini bukan kali pertamanya kulihat Arjuna dengan Anissa. Sepertinya mereka mulai dekat lagi. Aku merasa Arjuna mulai menjauhiku semenjak aku putus dengan Naftali.

Dera menutupi wajahku dengan selembar kertas saat mereka lewat. Percuma. Meski hanya satu detik aku melihat mereka, airmataku sudah jatuh entah berapa tetes.

                “Devina..” Febi menyentuh lenganku. Aku mengangguk. Mengerti maksudnya menyebut namaku.

                “Dev, barusan si Juna jalan sama...” belum sempat Nita menyelesaikan kalimatanya, Dera memelototinya dengan galak. “Aa, maaf Dev, maaf, aku nggak tau,” sesal Nita begitu menyadari aku sedang menangis. Aku hanya bisa tersenyum kecut diantara lelehan airmataku.

Ya Tuhan, sungguh, ini sakit. Kenapa dia jalan dengan Anissa di depan mataku? Apa dia itu PHP?

-oOo-

Beberapa saat lamanya aku diam. Mataku mengawasi Tere yang sedang asik mengutak-atik laptop bersampul biru laut itu. Otakku berputar-putar, mencari-cari topik yang bisa kubahas dengannya. Dan aku menemukan itu.

                “Re, apa menurutmu dia itu PHP?” tanyaku. Tangan Tere berhenti menari di atas keyboard.

                “Dia? Siapa? Juna?”

Aku mengangguk.

                “Hm? Kok kau bisa bilang begitu? Apa sebabnya?”

                “Entahlah, dia itu aneh,”

                “Maksudmu?”

                “Gimana ya? Dia memperlakukanku seperti layang-layang. Diulur, ditarik, ulur lagi, tarik lagi,”

                “Lalu?”

                “Ya aku heran. Dia bilang dia sayang. Tapi mengapa tarik ulur begitu? Kalau tak sayang, apa gunanya dekati aku? Maksudku, kalau dekati sebagai sahabat, aku tak masalah. Tapi ini? Masa iya sahabat seringkali manggil ‘sayang’? Coba pikir deh,”

Tere diam. Raut mukanya seperti sedang berpikir keras. Ditaruhnya laptop di lantai. Tangannya menopang dagu, matanya memandang ke lantai.

                “Bagaimana?” tanyaku tak sabar.

Masih diam.

                “Ayolah Re, kau biasanya cepat mengenai hal ini,” aku mendesak. Tere menghela napas.

                “Kita tak bisa ambil kesimpulan sekarang Dev. Jangan terburu. Ini masih kurang jelas.”

                “Kurang jelas? Astaga, lalu sampai kapan aku bisa mengerti dia?”

                “Sabar Dev. Hanya waktu yang bisa menjawab. Lagipula dia tipikal orang yang sulit ditebak. Kalau aku bilang PHP, iya kalau dia benar PHP. Kalau tidak?

Gantian aku yang diam.

                “Amati saja dia,” saran Tere. “Hanya itu yang bisa kau lakukan,”

-oOo-

                “Temen-temen, jangan pulang dulu ya, kita latihan upacara dulu,” suara Nita mampir ke telinga kami. Aku mengeluh. Sabtu ini panas. Pelajarannya melelahkan. Dan kami harus latihan upacara. Senin besok kelas kami bertugas.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju lapangan. Meletakkan tas dan jaket di kursi depan 9ß, kelas Arjuna. Aku benar-benar malas hari ini. Mataku tak mencari-cari sosoknya. Lagipula aku masih kesal soal kejadian Kamis lalu. Saat dia jalan dengan Anissa di kantin.

                “Dev, paduan suaranya disiapin,” Pak Wicaksana menyuruhku. Aku mengangguk dan melakukannya. Siang itu aku fokus pada tugasku sebagai dirigen sampai sesosok tubuh lelaki dengan rompi hitam bergaris oranye dan biru melintas di sebelah utara, sekitar 7 meter dari tempat aku berdiri. Tiba-tiba aku kehilangan fokus. Mataku tergoda untuk menatapnya.

Arjuna terus mengawasiku di antara langkah-langkahnya. Bahasa tubuhnya berkata, ‘ayo semangat Devina!’.

Aku tertegun.

Apa maksudnya?

-oOo-

                “Hai,” Bayu, teman akrab Arjuna menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya mengangguk, wajahku masih kutekuk.

Hening.

                “Kok, mukanya gitu banget? Kenapa?” katanya mengamati raut wajahku.

Sebenarnya aku malas cerita. Tapi menatap sinar mata Bayu, dan mengingat kalu dia adalah teman akrab Arjuna, kupikir tak ada salahnya ia tahu persoalanku. Siapa tahu dia bisa bantu.

                “Kamu mau sembuh dari galau?” Bayu bertanya ketika aku mengakhiri ceritaku. Tentu saja aku mengangguk. Dia tersenyum penuh arti. “Oke, liat aja nanti siang. Istirahat les.” Lanjutnya. Lalu dia berbalik meninggalkanku.

Aku hanya melongo.

Apa lagi ini?

-oOo-

Akhirnya jam pelajaran terakhir pun usai. Aku sedikit bernapas lega. Kulirik jam. Bagus, aku punya 40 menit sebelum masuk les.

Dera mendekatiku. Dan kami berjalan menuju kantin. Setelah sampai, mataku menangkap lelaki dengan tas abu-abu tua bergaris cokelat muda. Senyumku mengembang. Itu Bayu.

                “Hei, gimana?” kataku to the point.

                “Oh, aku tadi tanya sama Juna, ‘kamu dulu kan deket banget sama Devina, kenapa sekarang jadi jauh banget?’ “

                “Terus?” kataku penuh perhatian.

               “Terus dia jawab gini, ‘loh? Suka-suka aku dong, terserah aku. Kan sekarang udah ada Anissa. Ngapain ngurusin dia?’ gitu,”

                Deg.

Aku serasa disambar petir. Hanya bisa melongo dan dengan lirih berkata ‘hah?’ begitu mendengar kalimat Bayu. Hatiku mulai berkecamuk dengan emosi meluap layaknya anak kecil yang tak diberi mainan.

Apa maunya? Apa dia pikir aku layang-layang yang bisa ditarik-ulur? Aku manusia! Wanita yang punya hati dan rasa!

Dera muncul sambil membawa segelas air mineral. Dengan wajah datar ia menatapku, lalu Bayu. Aku meliriknya beberapa detik. Oke, aku tak bisa lebih lama menahan emosi ini.

                “Oke, makasih bantuannya ya, aku ke kelas sekarang,” kataku pada Bayu. Dia tersenyum dan mengangguk.

                “Kita bisa ke kelas sekarang?” aku mendekati Dera sambil berusaha menahan airmata yang berebut ingin keluar ini.

                “Dev? Dev? Kenapa?” Dera panik dan mengikuti langkah cepatku.

Bruk!

Kulempar tas dan menjatuhkan diriku di kursi kelas 9ζ. Kusilangkan tangan di meja dan meletakkan kepalaku di atasnya.

Hening.

Lalu airmata.

                “Dev? Ada apa? Bayu bilang apa?” Dera menanyaiku dengan takut-takut. Sesenggukan kuceritakan semuanya sesingkat mungkin.

                “Astaga, maunya apa sih?” katanya mangkel. Aku hanya mengangkat bahu dan meletakkan kepalaku lagi. Membiarkan bertetes-tetes airmata keluar demi dia. Arjuna.

-oOo-

Senin, istirahat setelah jam pelajaran ke-4.

Aku sudah cukup bisa menguasai diriku. Sudah bisa terbahak seperti biasa meski dalam hati luka itu masih ada.

Kuberjalan menuju kantin dengan Febi sembari membahas topik-topik ringan di sekitar kami.

                “Juna nanyain kamu,” kata Dera. Ternyata dia sudah mendahului aku.

                “Tanya apa?”

                “Devina mana?”

                “Terus kamu jawab?”

                “Nggak aku jawab. Habisnya kamu langsung nongol di sini,”

                “Ohh...”

Kusapukan pandanganku. Tak berapa lama aku menemukannya di antara sekian siswa yang berebut mengambil jajanan. Jantungku berdegup kencang. Aku melirik Dera.

                “Tanya aja,” katanya seolah mengerti apa yang kupikirkan. Aku mengangguk. Kudekati dia, kusentuh bahunya. Dia menoleh.

                “Kamu mau balikan sama Anissa po?” bisikku tepat di telinga kirinya. Dia menangkat alis. Seperti heran dengan pertanyaanku.

                “Ha? Enggak tuh,”

Aku tersenyum. Manggut-manggut.

                “Kenapa sih?” tanyanya balik dengan logatnya yang khas. Matanya menyimpan kebingungan. Aku menggeleng.

                “Enggak, nggak papa kok,” ujarku singkat lalu berbalik meninggalkannya sebelum dia menghujaniku dengan pertanyaan yang memojokkan. Dera mengikutiku. Menjajari langkahku.

                “Gimana?” tanyanya.

                “Katanya sih enggak,” jawabku. Dera mengangguk. Aku melirik ke arah kiri-bawah. Dan kurasa ada langkah yang kukenal mendekati kami.

                “Ada apa sih? Kok kamu bisa tanya gitu?” Arjuna menanyaiku sambil berusaha mengimbangi langkahku. Aku sedikit bingung bagaimana menjawabnya.

                “Enggak, cuma tanya aja kok,”

                “Kok kamu bisa tanya  gitu?”

                “Haha, enggak papa, soalnya sempet denger dari temen, jadi aku tanya ke kamu,”

                “Oh,”

Hening.

                “Kamu enggak bakal balikan kan?” tanyaku memastikan. Dia melirikku.

Hening.

                “Kalo iya, kenapa?”

-oOo-

Aku langsung menggenggam handphone-ku lalu mencari-cari nama Tere di kontak.
Nah, ini dia. Kutekan tombol call.

Tuuu...t... tuuu...t...

                Halo?

                Halo, Tere? Kau di rumah?

                Ya. Ada apa?

                Aku mau cerita. Nanti.

Kuakhiri panggilan.

-oOo-

Akhirnya sampai juga. Kuketuk pintu rumahnya. Seorang wanita paruh baya muncul di balik pintu.

                “Oh, kau nak,” beliau tersenyum ramah. Tangannya mempersilahkan aku masuk.

                “Ya tante. Tere ada?”

                “Ada, di kamarnya,”

Aku langsung menuju kamar Tere, lalu masuk. Kulihat dia sedang membaca sebuah buku. Ditutupnya buka bersampul siluet wayang itu begitu melihatku.

                “Cerita apa?” tanyanya saat aku duduk di tempat tidurnya.

                “Tentang Juna.”

                “Ha!” teriaknya. Seolah tebakannya benar. “Sudah kuduga,” ia tertawa. “Ini,” dia menyerahkan buku tadi. Aku menerimanya. Kubaca judulnya. Sejarah Wayang Purwa.

                “Cari nama Arjuna di situ. Baca keterangan tentang istrinya untukku,”

Aku menurutinya.

Aruna, Arjuna, Arjuna. Tanganku mencari-cari nama itu di daftar isi. Nah ketemu. Aku tersenyum. Halaman 188.

Kubaca penjelasannya dalam hati.

                “Sudah ketemu?” suara Tere memecah keheningan. Aku mengangguk. “Baca,” katanya.

                “Istrinya tak terbilang jumlahnya, sehingga menjadilah peribahasa dalam bahasa Jawa untuk mempersamakan seorang yang beristri lebih dari seorang atau yang berulang-ulang kawin,..” aku memandang Tere dengan tatapan tak mengerti. “...dengan Arjuna,” kututup buku itu.

                “Berapa istrinya” Tere menanyaiku.

                “Banyak,”

                “Banyak,” ulangnya. “Berarti dia pantas punya nama Arjuna,”

Diam.

                “Arjuna. Arjuna. Tampan, sakti, berjiwa satria, playboy,” Tere menjentikkan jarinya. “Dan mungkin dalam duniamu akan lebih tepat bila kutambahkan,..” ditatapnya aku penuh arti. “..PHP,”

Aku mulai sadar.

Arjuna?

                Tampan.

                                Playboy.

                                                PHP.



KEPARAT!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar