Kamis, 14 Mei 2015

Rokok, kopi, dan cinta pahit

Aku cuma ingin bertanya; akankah semua jomblo semenyedihkan itu?

Dia masih terlihat baik-baik saja kala senja memberiku kesempatan bertemu dia lagi. Kaos polo merah, celana jeans coklat muda, tas selempang motif tentara, sepatu abu-abu, dan tentu saja, rambut lurus gondrong. Masih seperti yang kemarin, mungkin belum ada sebulan lalu. Tapi aku tahu, matanya tambah sayu. Rasanya ingin aku bertanya, masihkah karena wanita yang sama? Karena sedihnya tersirat jelas. Untung saja aku masih sadar diri, belum saatnya tanya itu merambat ke telinganya. Dukanya cukup menggambarkan, dan aku dibuat paham dengan kerlingannya.

                “Kalau dia ikut main, apa boleh?” tanya kekasihku. Aku mengangguk cepat, tentu saja. Dia baik, dan tak ada salahnya menemani orang galau. Ups, mungkin aku terlalu frontal.

Kami sampai di sebuah tempat makan, dan aku begitu bersemangat, kekasihku juga, tapi dia tidak. Pekikannya tertahan, lagu galau menyambut. Aku kaget mendengar suaranya jadi seberat itu. Sebegitunyakah rokok menenangkannya? Aku seperti ingin mencukupkan semua ini, tapi waktu masih membiarkan perasaannya berbalik menusuk hatinya sendiri. Ah, harusnya seperih itu?

Dia akhirnya duduk satu meja dengan kami, dan tangannya tak berhenti menari di atas layar sentuh besar itu. Aku tidak merasa perlu memperhatikan dia, dan mataku tak bertahan pada sosoknya, tapi entah mengapa hatiku bisa secepat ini menerjemahkan tiap ekspresinya. Lalu aku jadi sedih. Dia berulang kali menunjukkan obrolannya dengan wanita harapan itu, dan aku susah payah menahan kalimat nasehatku. Belum saatnya, belum saatnya. Waktu belum berkenan membuka mulutku.

Rokok pertamanya sudah habis. Rasa hatinya makin mengiris.

Jangan terlampau halus hati, dik. Atau kamu bakal cepat mati. Bisa juga sama saja bunuh diri. Adakah yang perlu kulakukan untuk membuatmu sadar bahwa sekarang tahun 2015? Kita sudah berjalan jauh, dan terlampau jauh dari jaman penciptaan. Wanita tak cuma satu. Cinta tak sepahit itu. Bagaimana mungkin hatimu cepat sembuh kala kamu terus memaksanya merasakan sakit? Semua orang paham segala sesuatu perlu diperjuangkan, apalagi cinta. Semua orang tahu cinta adalah bertahan dalam kesetiaan, dan cinta yang paling istimewa adalah cinta yang bertahan sekalipun tak ada hal yang bisa dipertahankan. Tapi bukan begitu caranya. Selalu ada kalanya hati perlu mundur dari semua perjuangan itu, menyendiri dan menata kembali puing-puing yang dihancurkan bom waktu. Kamu perlu diam sejenak, menarik napas, dan membuka mata. Ada banyak wanita baik diluar sana. Jangan memaksa, karena logika dalam cinta jelas perlu untuk ada bahagia.

Andai aku kenal dengan wanita harapanmu, kupastikan dia menangis kalau mendengar ceritaku soal kamu. Tak dapat lagi airmata terbendung kala retina menerima bayangmu malam ini. Adakah yang lebih menyedihkan dari melihat lelaki macam kamu menyimpan duka dibalik senyum paling lebar dan tawa paling lepas?

Baru ini aku lihat laki-laki galau. Dan itu benar-benar menguras rasa. Untung saja aku tidak bawa hati waktu memperhatikan tingkahmu. Kalau iya, entah bagaimana aku bisa menahan airmata. Ini terlalu sedih untuk dilihat, apalagi dinikmati.

Cepat dapat penyembuh, dik. Kopi pahit pasti punya rasa unik yang orang artikan nyaris sama dengan bahagia. Dan, cinta takkan pernah sepahit itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar