Aku cuma ingin bertanya; akankah semua jomblo semenyedihkan
itu?
Dia masih terlihat baik-baik saja kala senja memberiku
kesempatan bertemu dia lagi. Kaos polo merah, celana jeans coklat muda, tas selempang motif tentara, sepatu abu-abu, dan
tentu saja, rambut lurus gondrong. Masih seperti yang kemarin, mungkin belum
ada sebulan lalu. Tapi aku tahu, matanya tambah sayu. Rasanya ingin aku
bertanya, masihkah karena wanita yang sama? Karena sedihnya tersirat jelas. Untung
saja aku masih sadar diri, belum saatnya tanya itu merambat ke telinganya. Dukanya
cukup menggambarkan, dan aku dibuat paham dengan kerlingannya.
“Kalau
dia ikut main, apa boleh?” tanya kekasihku. Aku mengangguk cepat, tentu saja. Dia
baik, dan tak ada salahnya menemani orang galau. Ups, mungkin aku terlalu
frontal.
Kami sampai di sebuah tempat makan, dan aku begitu bersemangat,
kekasihku juga, tapi dia tidak. Pekikannya tertahan, lagu galau menyambut. Aku kaget
mendengar suaranya jadi seberat itu. Sebegitunyakah rokok menenangkannya? Aku seperti
ingin mencukupkan semua ini, tapi waktu masih membiarkan perasaannya berbalik
menusuk hatinya sendiri. Ah, harusnya seperih itu?
Dia akhirnya duduk satu meja dengan kami, dan tangannya tak
berhenti menari di atas layar sentuh besar itu. Aku tidak merasa perlu
memperhatikan dia, dan mataku tak bertahan pada sosoknya, tapi entah mengapa
hatiku bisa secepat ini menerjemahkan tiap ekspresinya. Lalu aku jadi sedih. Dia
berulang kali menunjukkan obrolannya dengan wanita harapan itu, dan aku susah
payah menahan kalimat nasehatku. Belum saatnya, belum saatnya. Waktu belum
berkenan membuka mulutku.
Rokok pertamanya sudah habis. Rasa hatinya makin mengiris.
Jangan terlampau halus hati, dik. Atau kamu bakal cepat
mati. Bisa juga sama saja bunuh diri. Adakah yang perlu kulakukan untuk
membuatmu sadar bahwa sekarang tahun 2015? Kita sudah berjalan jauh, dan
terlampau jauh dari jaman penciptaan. Wanita tak cuma satu. Cinta tak sepahit
itu. Bagaimana mungkin hatimu cepat sembuh kala kamu terus memaksanya merasakan
sakit? Semua orang paham segala sesuatu perlu diperjuangkan, apalagi cinta. Semua
orang tahu cinta adalah bertahan dalam kesetiaan, dan cinta yang paling
istimewa adalah cinta yang bertahan sekalipun tak ada hal yang bisa
dipertahankan. Tapi bukan begitu caranya. Selalu ada kalanya hati perlu mundur
dari semua perjuangan itu, menyendiri dan menata kembali puing-puing yang
dihancurkan bom waktu. Kamu perlu diam sejenak, menarik napas, dan membuka
mata. Ada banyak wanita baik diluar sana. Jangan memaksa, karena logika dalam
cinta jelas perlu untuk ada bahagia.
Andai aku kenal dengan wanita harapanmu, kupastikan dia
menangis kalau mendengar ceritaku soal kamu. Tak dapat lagi airmata terbendung kala
retina menerima bayangmu malam ini. Adakah yang lebih menyedihkan dari melihat lelaki
macam kamu menyimpan duka dibalik senyum paling lebar dan tawa paling lepas?
Baru ini aku lihat laki-laki galau. Dan itu benar-benar
menguras rasa. Untung saja aku tidak bawa hati waktu memperhatikan tingkahmu. Kalau
iya, entah bagaimana aku bisa menahan airmata. Ini terlalu sedih untuk dilihat,
apalagi dinikmati.
Cepat dapat penyembuh, dik. Kopi pahit pasti punya rasa unik
yang orang artikan nyaris sama dengan bahagia. Dan, cinta takkan pernah sepahit
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar