Rabu, 10 Juli 2013

Membawamu Pulang


Sebentuk buku. Selembar kertas HVS. Sebuah pensil. Secangkir cappuccino panas. Dan sepenggal kenangan tentang cinta...

Jemarimu mengetuk meja dengan mata meliar keluar jendela. Entah apa yang sedang kamu pikirkan. Entah apa yang sedang kamu risaukan. Aku masih terlalu sibuk dengan lonjakan jantungku hingga tak mampu menerka sesuatu di balik matamu, di balik lekukan-lekukan di jidatmu. Mestinya hari ini aku bahagia. Karena bayanganmu ada di retinaku, bukan hanya berputar-putar di anganku. Tapi kini aku gugup. Mungkinkah gugupku akibat terlalu bahagia?
Masih kuamati, kamu, di belakang tirai pemisah ruang tengah dan ruang tamuku. Kutangkap siluetmu, kumasukkan ke otak, dan kuabadikan di hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam, melangkahkan kaki, menyibak tirai, dan berusaha siap menatap kamu dengan lebih jelas dan nyata.
                “Mau minum apa?” tanyaku. Berusaha mengeluarkan nada semanis mungkin. Kamu segera berhenti menatap luar jendela dan mengalihkan pandangan padaku. Tatapanmu masih seperti dulu. Tajam dan memikat. Sedikit menusuk, tapi juga membuat cinta menyala lebih kuat.
                “Koktail cinta, ada?”
Tak siap dengan jawabanmu, aku tersentak. Dan tawamu pun meledak.
                “Haha, bercanda. Apa aja deh, terserah kamu. Aku udah haus daritadi soalnya.” Katamu menjelaskan, masih dengan ekspresi geli.
Aku mengangguk, bergegas masuk, menyiapkan segelas sari leci untuk obat hausmu. Kalimat ‘setengah bercanda’mu masih mengganggu pikiranku. Sembari mengaduk, aku mencari-cari pesan tersiratmu, namun, selalu aku terhenti pada tanda tanya. Mengapa? Mengapa kamu masih sulit dipahami?
                “Ini,” kataku menyodorkan minuman. Mulutmu diam. Entah karena sibuk bermain dengan handphone-mu atau kamu sengaja mendiamkan bibir dan berbicara lewat hati. Aku tidak berani menatapmu. Detik itu kita nyaris tidak berjarak. Tapi aku belum mampu melakukan sesuatu yang berarti. Kakiku mundur tertur dan cepat-cepat berbalik, meletakkan nampan hitamku lalu menyiapkan hati, sekali lagi.

                Tik..tok..tik..tok..

Terdengar suara jam berdetak-detak. Aku dan kamu sma-sama bertahan dalam hening. Tak ada pembicaraan di menit-menit awal. Sesekali kamu berdehem dan cekikikan dengan handphone-mu. Handphone. Bukan aku. Kamu seperti mengabaikan aku. Tapi aku juga tidak bisa marah. bagiku, saling diam seperti ini bisa begitu menyenangkan karena kau akan puas menatapmu dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa harus diawasi tatapan matamu yang cukup tajam untuk memisahkan bagian-bagian jantungku.
Sekali lagi, kamu berdehem. Tapi kali ini tidak pada handphone-mu. Seketika aku tertangkap basah sedang mengamatimu. Aku sedikit salah tingkah. Kukira kamu akan marah. Dan, kulihat sebersit senyum melintas, tatapan melembut, ototku mengendur, hatiku melega.
Sejenak, pandanganmu menyapu sekeliling. Kamu masih memilih diam. Membuatku kembali menunggu.
                “Ini nomor apa?” tanyamu, setelah beberapa menit berlalu. Telunjukmu mengarah pada yang kamu pertanyakan.
Bibirku menganga. Tidak menyangka kamu lupa pada nomor, yang sebenarnya adalah tanggal itu.
                “Kamu...lupa?”
Dengan polosnya kamu mengangguk.
                “Itu bukan nomor,” kataku sedikit kesal. Kecewa kamu melupakan tanggal jadian kita.
                “Lalu? Tanggal?”
Aku mengangguk.
                “Tanggal apa?”
Aku mengerling.
Terpaksa, aku membuka kitab masalalu. Terpaksa aku menguraikannya. Terpaksa aku bercerita. Hatiku menggelegak. Mulutku mengelu saat kisah itu meluncur dari gerakan lidahku. Aku sendiri heran, mengapa aku bisa mengatakannya seruntut itu.
Kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Seperti berusaha mencari data yang terabaikan di otakmu. Dan, aku berhasil mengantarkanmu pulang. Aku berhasil membuka peti kenanganmu dengan kunci yang aku punya; kunci yang kusebut cinta.
Air mukamu berubah. Senyummu merekah. Wajahmu jadi cerah. Kamu sudah kembali. Ya, kamu telah kembali.
                “Jadi selama ini, kamu mikirin aku?”
                “Iya.”
                “Astaga,”
                “Kenapa?”
                “Aku malah seneng-seneng,” tanganmu menggaruk kepala belakang, yang kutahu, itu tidak gatal.
Aku tertawa, “Nggakpapa. Kamu berhak untuk itu.”
Kamu tersenyum, “Kamu setia ya. Aku baru tahu ini, ada cewek yang setianya kayak kamu.”
Aku tertawa lagi. Buatku, kelimat itu sedikit berlebihan.
                “Apa menurutmu aku setia?”
Sontak, tawaku hilang. Mendadak, aku bingung bagaimana harus menjawab.
                “Apa menurutmu aku ini setia?” ulangmu. Kali ini dengan nada dan tatapan yang lebih tajam. “Ya, atau tidak?”
Kedua pilihan itu sama sulitnya. Aku hanya punya sedikit waktu untuk berpikir dan kuputuskan menjawab, “Ya.”
                “Kenapa?” tanyamu. Benar-benar ingin tahu.
Aku menghela napas, “Karena...karena kamu pernah bilang, di luar sana ada banyak cewek yang jauh lebih, lebih, lebih dari aku, dan...” aku menatapnya. “...dan kamu tetep milih aku.”
Kulihat, matamu membelalak dan seketika melembut. Entah kaget, atau justru puas dengan jawabanku. Dua detik kemudian, bibirmu melengkung ke atas. Aku ikut tersenyum.
Kamu berdiri. Aku juga berdiri. Tinggi kita terpaut jauh. Kurasa badanmu jadi menjulang. Atau...aku terlalu pendek?
Ah, aku tak peduli. Kembalinya kamu jauh lebih berarti ketimbang semua itu.
Kamu mulai mengerumusku. Tanganku melingkar di pinggangmu. Wajahku tenggelam di dadamu. Oksigen yang kuhirup bercampur dengan aroma tubuhmu.
                “Ayo ikut aku,” katamu, setengah berbisik.
                “Kemana?”
                “Ke dunia kita yang baru, menyusun kisah kita yang baru.”
Aku tersenyum.
Airmata meleleh atas nama bahagia.


...Yogyakarta, 09/07/2013

10.37 PM...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar