Sebentuk
buku. Selembar kertas HVS. Sebuah pensil. Secangkir cappuccino panas. Dan sepenggal kenangan tentang cinta...
Jemarimu
mengetuk meja dengan mata meliar keluar jendela. Entah apa yang sedang kamu
pikirkan. Entah apa yang sedang kamu risaukan. Aku masih terlalu sibuk dengan
lonjakan jantungku hingga tak mampu menerka sesuatu di balik matamu, di balik lekukan-lekukan
di jidatmu. Mestinya hari ini aku bahagia. Karena bayanganmu ada di retinaku,
bukan hanya berputar-putar di anganku. Tapi kini aku gugup. Mungkinkah gugupku
akibat terlalu bahagia?
Masih
kuamati, kamu, di belakang tirai pemisah ruang tengah dan ruang tamuku.
Kutangkap siluetmu, kumasukkan ke otak, dan kuabadikan di hatiku. Aku menarik
napas dalam-dalam, melangkahkan kaki, menyibak tirai, dan berusaha siap menatap
kamu dengan lebih jelas dan nyata.
“Mau minum apa?” tanyaku.
Berusaha mengeluarkan nada semanis mungkin. Kamu segera berhenti menatap luar
jendela dan mengalihkan pandangan padaku. Tatapanmu masih seperti dulu. Tajam
dan memikat. Sedikit menusuk, tapi juga membuat cinta menyala lebih kuat.
“Koktail cinta, ada?”
Tak
siap dengan jawabanmu, aku tersentak. Dan tawamu pun meledak.
“Haha, bercanda. Apa aja deh,
terserah kamu. Aku udah haus daritadi soalnya.” Katamu menjelaskan, masih
dengan ekspresi geli.
Aku
mengangguk, bergegas masuk, menyiapkan segelas sari leci untuk obat hausmu.
Kalimat ‘setengah bercanda’mu masih mengganggu pikiranku. Sembari mengaduk, aku
mencari-cari pesan tersiratmu, namun, selalu aku terhenti pada tanda tanya.
Mengapa? Mengapa kamu masih sulit dipahami?
“Ini,” kataku menyodorkan
minuman. Mulutmu diam. Entah karena sibuk bermain dengan handphone-mu atau kamu sengaja mendiamkan bibir dan berbicara lewat
hati. Aku tidak berani menatapmu. Detik itu kita nyaris tidak berjarak. Tapi
aku belum mampu melakukan sesuatu yang berarti. Kakiku mundur tertur dan
cepat-cepat berbalik, meletakkan nampan hitamku lalu menyiapkan hati, sekali
lagi.
Tik..tok..tik..tok..
Terdengar
suara jam berdetak-detak. Aku dan kamu sma-sama bertahan dalam hening. Tak ada
pembicaraan di menit-menit awal. Sesekali kamu berdehem dan cekikikan dengan handphone-mu. Handphone. Bukan aku. Kamu seperti mengabaikan aku. Tapi aku juga
tidak bisa marah. bagiku, saling diam seperti ini bisa begitu menyenangkan karena
kau akan puas menatapmu dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa harus diawasi
tatapan matamu yang cukup tajam untuk memisahkan bagian-bagian jantungku.
Sekali
lagi, kamu berdehem. Tapi kali ini tidak pada handphone-mu. Seketika aku tertangkap basah sedang mengamatimu. Aku
sedikit salah tingkah. Kukira kamu akan marah. Dan, kulihat sebersit senyum
melintas, tatapan melembut, ototku mengendur, hatiku melega.
Sejenak,
pandanganmu menyapu sekeliling. Kamu masih memilih diam. Membuatku kembali
menunggu.
“Ini nomor apa?” tanyamu, setelah
beberapa menit berlalu. Telunjukmu mengarah pada yang kamu pertanyakan.
Bibirku
menganga. Tidak menyangka kamu lupa pada nomor, yang sebenarnya adalah tanggal
itu.
“Kamu...lupa?”
Dengan
polosnya kamu mengangguk.
“Itu bukan nomor,” kataku
sedikit kesal. Kecewa kamu melupakan tanggal jadian kita.
“Lalu? Tanggal?”
Aku
mengangguk.
“Tanggal apa?”
Aku
mengerling.
Terpaksa,
aku membuka kitab masalalu. Terpaksa aku menguraikannya. Terpaksa aku
bercerita. Hatiku menggelegak. Mulutku mengelu saat kisah itu meluncur dari
gerakan lidahku. Aku sendiri heran, mengapa aku bisa mengatakannya seruntut
itu.
Kamu
mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Seperti berusaha mencari data yang
terabaikan di otakmu. Dan, aku berhasil mengantarkanmu pulang. Aku berhasil
membuka peti kenanganmu dengan kunci yang aku punya; kunci yang kusebut cinta.
Air
mukamu berubah. Senyummu merekah. Wajahmu jadi cerah. Kamu sudah kembali. Ya,
kamu telah kembali.
“Jadi selama ini, kamu mikirin
aku?”
“Iya.”
“Astaga,”
“Kenapa?”
“Aku malah seneng-seneng,”
tanganmu menggaruk kepala belakang, yang kutahu, itu tidak gatal.
Aku tertawa,
“Nggakpapa. Kamu berhak untuk itu.”
Kamu
tersenyum, “Kamu setia ya. Aku baru tahu ini, ada cewek yang setianya kayak
kamu.”
Aku
tertawa lagi. Buatku, kelimat itu sedikit berlebihan.
“Apa menurutmu aku setia?”
Sontak,
tawaku hilang. Mendadak, aku bingung bagaimana harus menjawab.
“Apa menurutmu aku ini setia?”
ulangmu. Kali ini dengan nada dan tatapan yang lebih tajam. “Ya, atau tidak?”
Kedua
pilihan itu sama sulitnya. Aku hanya punya sedikit waktu untuk berpikir dan
kuputuskan menjawab, “Ya.”
“Kenapa?” tanyamu. Benar-benar
ingin tahu.
Aku
menghela napas, “Karena...karena kamu pernah bilang, di luar sana ada banyak
cewek yang jauh lebih, lebih, lebih dari aku, dan...” aku menatapnya. “...dan
kamu tetep milih aku.”
Kulihat,
matamu membelalak dan seketika melembut. Entah kaget, atau justru puas dengan
jawabanku. Dua detik kemudian, bibirmu melengkung ke atas. Aku ikut tersenyum.
Kamu
berdiri. Aku juga berdiri. Tinggi kita terpaut jauh. Kurasa badanmu jadi
menjulang. Atau...aku terlalu pendek?
Ah,
aku tak peduli. Kembalinya kamu jauh lebih berarti ketimbang semua itu.
Kamu
mulai mengerumusku. Tanganku melingkar di pinggangmu. Wajahku tenggelam di
dadamu. Oksigen yang kuhirup bercampur dengan aroma tubuhmu.
“Ayo ikut aku,” katamu, setengah
berbisik.
“Kemana?”
“Ke dunia kita yang baru,
menyusun kisah kita yang baru.”
Aku
tersenyum.
Airmata
meleleh atas nama bahagia.
...Yogyakarta,
09/07/2013
10.37 PM...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar