Sabtu, 17 Mei 2014

Tentang 'dia' #2

Mata selalu memiliki tugas untuk melihat.
Namun diperlukan sentuhan yang luar biasa untuk membuatnya ‘melihat’.

Cerita sebelumnya: Tentang 'dia' #1

Kalau ada sekumpulan wanita yang lupa bagaimana rasanya terbang, lupa bagaimana rasanya diperhatikan dan dipertahankan, dimengerti dan dipahami, diperjuangkan dan diprioritaskan, dia adalah salah satunya. Entah mengapa tiba-tiba dia berani mengatakan hal ini. Bisa jadi dia sudah terlalu buta, sudah terlalu terbiasa dengan rasa pedih perih yang setiap hari mampir ke hati. Remuk redam, sakit luar biasa, adalah makanan sehari-hari, yang kalau tak dilahap, rasanya hidup kurang lengkap. Bak mengubah rutinitas bumi yang kerjanya mengelilingi matahari. Entahlah, sampai sebegitu terbiasanya dia.

Aku masih sering mendengar persepsi yang sama. Masih ada banyak manusia disana, terlebih wanita, yang mengatakan cinta itu indah. Tolong jangan berpikir, dia adalah salah satu dari mereka yang berpendapat begitu. Kadang dia tak terima. Buatnya, cinta hadir dalam satu paket. Sedih-senang, suka-duka, tawa-airmata. Sedikitnya ada tiga pasang rasa yang wajib ada. Bak uang koin yang sama-sama penting di kedua sisinya. Tak akan pernah menyatu, memang. Tapi juga tak akan pernah bisa dipisahkan. Kali ini, aku setuju.
Dalam hidup manusia tentu mengenal manusia lain. Selalu diberi kesempatan oleh Sang Tuhan untuk saling berbagi cerita. Takdir di dunia hanyalah datang dan pergi. Begitu pula kisah hidupnya. Ia jelas mengenal dua jenis manusia—laki-laki dan perempuan—dalam jumlah banyak. Ada banyak pula yang istimewa baginya selain keluarga, kekasih, dan sahabat-sahabatnya.

Lelaki itu tak pernah jadi bagian di hidup, awalnya. Bahkan bagaimana semua ini bermula, dia mengaku sudah lupa. Yang masih diingat benar adalah dia tahu lelaki itu sebatas rupa dan nama. Tak ada data yang lebih rinci tentang si pria yang tersimpan dalam otaknya. Katanya data itu lebih dari cukup karena kutahu, dia tak punya urusan dengannya.

Pengetahuannya yang sebatas rupa dan nama, hubungannya yang sebatas tahu saja seketika berubah. Hari dimana ia menginjakkan kaki pada angka enambelas dalam satuan tahun adalah sebuah sejarah. Tidak hanya bergeser satu petak, tidak hanya naik satu tingkat. Mereka, dia dan lelaki itu, berubah seratus delapan puluh derajat.
“Aku sudah pernah melihat kelebatannya. Sudah pernah tahu bagaimana caranya menapaki tanah, langkah demi langkah. Sudah pernah tahu caranya duduk, berbicara, tersenyum, dan tertawa. Sayang, teguran sapa belum pernah ada di daftar kejadian tentang dia, apalagi saling tatap muka dan bertukar cerita.”
Mau tak mau aku terbahak mendengar ada kalimat bak skenario opera meluncur dari bibirnya dan mampir ke telingaku.
                “Jangan tertawa!” mukanya seketika memerah seperti tomat.
                “Maka jangan terlalu puitis!”
                “Aku tidak puitis, aku bicara fakta.” Ia bersikeras.
                “Kamu tidak bicara fakta, kamu bicara rasa, bicara hati, bicara cinta. Jangan pura-pura tolol! Aku takkan menanggapinya sedramatis yang kamu sebutkan.”
                “Terserahlah. Mungkin itu akibat kesendirianmu selama beberapa tahun terakhir.” Katanya ketus.
                “Oh, begitukah?”
Ia hanya mengangkat bahu. Lalu berdiri, melangkah sejauh dua meter dari tempat aku bersila. Masih ada rona kemerahan di pipinya. Dan aku tahu, bahagianya mulai ada. Tersembul malu-malu diantara setiap kepingan rasa sakit yang akhir-akhir ini jadi makanannya. Matanya mulai terbuka. Ia mulai bangun dari tidur panjangnya.

Kadang aku tak mengerti. Sebegitu sulitnyakah cinta dijalani? Entah sudah berapa kilogram hati ia lahap. Entah sudah berapa botol peluh dan airmata rela dibuang, hanya demi satu orang lelaki tak berperasaan. Diam-diam aku merasakan sakitnya. Diam-diam belati menusuk jantungku juga. Tapi, aku bisa apa? Aku hanyalah cermin tempat dia berkaca. Aku hanya perekam suara tempat dia berkata. Aku hanya tanah tempatnya mengubur duka.

Kamu pantas bahagia! Sering aku menjerit dalam hati. Kamu pantas pergi dari manusia yang tak tahu diri. Apa motivasinya memelukmu dengan tangan kanan, dan dalam waktu yang sama, menusukmu dengan tangan kiri? Apa maksudnya ia sering mengecupmu. Tapi bila kamu mau sadar dari mabukmu, kecupannya adalah batu perajam hatimu. Lagi, kalimat itu terhenti di bibir, tercekat di dada.
Setiap hari kini, aku sering melihatnya tertawa-tawa sendiri. Bukan karena jiwanya mulai terganggu. Tapi karena rasanya mulai ditinggal sendu.
                “Ada apa?” tanyaku pada suatu hari, tak tahan dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
Ia tak melontarkan satu kata pun, hanya tangannya memberikan handphone itu untuk kubaca. Seketika aku tahu. Ada seorang lelaki yang mendekatinya. Sudah kuceritakan sedikit tentang lelaki penyelamat itu di atas tadi.

Lalu, kulihat seberkas sinar melintas di wajahnya. Matanya seketika terbuka, hatinya hidup lagi dari kematian sang rasa. Aku seakan tak percaya. Kini, aku tahu ia tidak bodoh akan cinta. Ia hanya dibutakan oleh kekaguman yang ternyata malah merobek jiwa.

Bila benar lelaki itu adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahannya selama ini, aku akan ikut bahagia. Bila benar lelaki itu adalah kado yang dibawa malaikat sebagai pengganti dukanya selama ini, aku akan ikut bahagia. Mestinya ia sudah cukup merasakan derita, membuang airmata, menyimpan lara. Ia sudah terlalu rindu untuk bahagia.

Cerita selanjutnya: Tentang 'dia' #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar