Mata selalu memiliki tugas untuk
melihat.
Namun diperlukan sentuhan yang
luar biasa untuk membuatnya ‘melihat’.
Cerita sebelumnya: Tentang 'dia' #1
Kalau ada sekumpulan wanita yang lupa bagaimana rasanya terbang, lupa bagaimana rasanya diperhatikan dan dipertahankan, dimengerti dan dipahami, diperjuangkan dan diprioritaskan, dia adalah salah satunya. Entah mengapa tiba-tiba dia berani mengatakan hal ini. Bisa jadi dia sudah terlalu buta, sudah terlalu terbiasa dengan rasa pedih perih yang setiap hari mampir ke hati. Remuk redam, sakit luar biasa, adalah makanan sehari-hari, yang kalau tak dilahap, rasanya hidup kurang lengkap. Bak mengubah rutinitas bumi yang kerjanya mengelilingi matahari. Entahlah, sampai sebegitu terbiasanya dia.
Kalau ada sekumpulan wanita yang lupa bagaimana rasanya terbang, lupa bagaimana rasanya diperhatikan dan dipertahankan, dimengerti dan dipahami, diperjuangkan dan diprioritaskan, dia adalah salah satunya. Entah mengapa tiba-tiba dia berani mengatakan hal ini. Bisa jadi dia sudah terlalu buta, sudah terlalu terbiasa dengan rasa pedih perih yang setiap hari mampir ke hati. Remuk redam, sakit luar biasa, adalah makanan sehari-hari, yang kalau tak dilahap, rasanya hidup kurang lengkap. Bak mengubah rutinitas bumi yang kerjanya mengelilingi matahari. Entahlah, sampai sebegitu terbiasanya dia.
Aku masih sering mendengar
persepsi yang sama. Masih ada banyak manusia disana, terlebih wanita, yang
mengatakan cinta itu indah. Tolong jangan berpikir, dia adalah salah satu dari
mereka yang berpendapat begitu. Kadang dia tak terima. Buatnya, cinta hadir
dalam satu paket. Sedih-senang, suka-duka, tawa-airmata. Sedikitnya ada tiga
pasang rasa yang wajib ada. Bak uang koin yang sama-sama penting di kedua
sisinya. Tak akan pernah menyatu, memang. Tapi juga tak akan pernah bisa
dipisahkan. Kali ini, aku setuju.
Dalam hidup manusia tentu
mengenal manusia lain. Selalu diberi kesempatan oleh Sang Tuhan untuk saling
berbagi cerita. Takdir di dunia hanyalah datang dan pergi. Begitu pula kisah
hidupnya. Ia jelas mengenal dua jenis manusia—laki-laki dan perempuan—dalam
jumlah banyak. Ada banyak pula yang istimewa baginya selain keluarga, kekasih,
dan sahabat-sahabatnya.
Lelaki itu tak pernah jadi bagian
di hidup, awalnya. Bahkan bagaimana semua ini bermula, dia mengaku sudah lupa.
Yang masih diingat benar adalah dia tahu lelaki itu sebatas rupa dan nama. Tak
ada data yang lebih rinci tentang si pria yang tersimpan dalam otaknya. Katanya
data itu lebih dari cukup karena kutahu, dia tak punya urusan dengannya.
Pengetahuannya yang sebatas rupa
dan nama, hubungannya yang sebatas tahu saja seketika berubah. Hari dimana ia
menginjakkan kaki pada angka enambelas dalam satuan tahun adalah sebuah
sejarah. Tidak hanya bergeser satu petak, tidak hanya naik satu tingkat. Mereka,
dia dan lelaki itu, berubah seratus delapan puluh derajat.
“Aku sudah
pernah melihat kelebatannya. Sudah pernah tahu bagaimana caranya menapaki
tanah, langkah demi langkah. Sudah pernah tahu caranya duduk, berbicara,
tersenyum, dan tertawa. Sayang, teguran sapa belum pernah ada di daftar
kejadian tentang dia, apalagi saling tatap muka dan bertukar cerita.”
Mau tak mau aku terbahak
mendengar ada kalimat bak skenario opera meluncur dari bibirnya dan mampir ke
telingaku.
“Jangan
tertawa!” mukanya seketika memerah seperti tomat.
“Maka
jangan terlalu puitis!”
“Aku
tidak puitis, aku bicara fakta.” Ia bersikeras.
“Kamu
tidak bicara fakta, kamu bicara rasa, bicara hati, bicara cinta. Jangan
pura-pura tolol! Aku takkan menanggapinya sedramatis yang kamu sebutkan.”
“Terserahlah.
Mungkin itu akibat kesendirianmu selama beberapa tahun terakhir.” Katanya
ketus.
“Oh,
begitukah?”
Ia hanya mengangkat bahu. Lalu
berdiri, melangkah sejauh dua meter dari tempat aku bersila. Masih ada rona
kemerahan di pipinya. Dan aku tahu, bahagianya mulai ada. Tersembul malu-malu
diantara setiap kepingan rasa sakit yang akhir-akhir ini jadi makanannya. Matanya
mulai terbuka. Ia mulai bangun dari tidur panjangnya.
Kadang aku tak mengerti. Sebegitu
sulitnyakah cinta dijalani? Entah sudah berapa kilogram hati ia lahap. Entah
sudah berapa botol peluh dan airmata rela dibuang, hanya demi satu orang lelaki
tak berperasaan. Diam-diam aku merasakan sakitnya. Diam-diam belati menusuk
jantungku juga. Tapi, aku bisa apa? Aku hanyalah cermin tempat dia berkaca. Aku
hanya perekam suara tempat dia berkata. Aku hanya tanah tempatnya mengubur
duka.
Kamu pantas bahagia! Sering aku menjerit dalam hati. Kamu pantas pergi dari manusia yang tak tahu
diri. Apa motivasinya memelukmu dengan tangan kanan, dan dalam waktu yang sama,
menusukmu dengan tangan kiri? Apa maksudnya ia sering mengecupmu. Tapi bila
kamu mau sadar dari mabukmu, kecupannya adalah batu perajam hatimu. Lagi,
kalimat itu terhenti di bibir, tercekat di dada.
Setiap hari kini, aku sering
melihatnya tertawa-tawa sendiri. Bukan karena jiwanya mulai terganggu. Tapi
karena rasanya mulai ditinggal sendu.
“Ada
apa?” tanyaku pada suatu hari, tak tahan dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
Ia tak melontarkan satu kata pun,
hanya tangannya memberikan handphone
itu untuk kubaca. Seketika aku tahu. Ada seorang lelaki yang mendekatinya.
Sudah kuceritakan sedikit tentang lelaki penyelamat itu di atas tadi.
Lalu, kulihat seberkas sinar
melintas di wajahnya. Matanya seketika terbuka, hatinya hidup lagi dari
kematian sang rasa. Aku seakan tak percaya. Kini, aku tahu ia tidak bodoh akan
cinta. Ia hanya dibutakan oleh kekaguman yang ternyata malah merobek jiwa.
Bila benar lelaki itu adalah
hadiah dari Tuhan untuk ketabahannya selama ini, aku akan ikut bahagia. Bila
benar lelaki itu adalah kado yang dibawa malaikat sebagai pengganti dukanya
selama ini, aku akan ikut bahagia. Mestinya ia sudah cukup merasakan derita,
membuang airmata, menyimpan lara. Ia sudah terlalu rindu untuk bahagia.
Cerita selanjutnya: Tentang 'dia' #3
Cerita selanjutnya: Tentang 'dia' #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar