“Kamu
yakin?” tanyamu.
Aku hanya mengangguk. Akan ada
banyak hal yang perlu kubicarakan nanti. Aku harus menghemat tenaga selagi
bisa. Dan sekalipun tak kamu jelaskan dengan kata-kata, aku tahu, masih ada
keraguan ketika kamu mengarahkan setir ke kanan. Entah sadar entah tidak, lampu
sein kananmu tidak kamu hidupkan. Tetaplah tenang, seleraku masih sama.
“Ah,”
Begitu singkat, sekalipun tak
cepat. Lagi, aku malas menanggapi. Kamu sudah cukup dewasa untuk bisa paham
sendiri. Tak perlu aku berceloteh panjang lebar untuk membuatmu mengangguk
tanpa arti. Motor kamu parkir rapi. Aneh saja buatku. Tak pernah selama dua
tahun kebersamaan kita, kamu bersikap begini.
Masih dengan siratan keraguan,
kamu menapaki tanah, langkah demi langkah. Dan kamu terhenti pada anak tangga
yang pertama. Hatiku bertanya, ‘Apa?’ minta penjelasan atas sikapmu barusan.
Kusampaikan tanya melalui mata. Belum tepat rasanya aku memerintah otak
mengeluarkan kata.
Kamu memandangku tajam. Memaksaku
mengerti arti tatapan itu. Lama, aku baru bisa mendesah. Setumpuk kalimat yang
kupersiapkan ternyata bisa membuat tidak peka. Tanpa banyak tingkah aku
mendahului langkahmu, berjalan sok tegar di depanmu. Kamu mungkin belum tahu,
dalam diam, aku menyimpan sendu itu.
Suasana temaram adalah yang
pertama kali menyambut kita. Kelap-kelip lampu-lampu mungil tergantung setia di
sana-sini. Kepulan asap rokok beberapa pengunjung memenuhi udara. Dentingan
piano terlalu indah untuk mengiringi kita. Aroma petrichor menyeruak. Terasa
manis, namun kali ini begitu mengiris. Suasana begitu romantis, hanya kitalah
yang bersikeras mempertahankan raut sinis.
Secangkir kopi robusta dan
sebotol vodka diantar ke meja. Tapi kamu pura-pura tidak peka. Kedua tanganmu
sibuk menggenggap handphone, ibu
jarimu menari di layar sentuh itu. Ah, masih kamu yang dulu. Aku pasti akan
merindukan sikap acuh tak acuhmu.
Andai ada jam dinding pada tempat
itu, kupastikan ia sedang tertawa. Ia akan menganggapku tolol dan bodoh karena
kerasnya desakanku untuk bisa berada di sini bersamamu. Dan sekarang, untuk
sekedar membuka mulutpun, aku belum siap.
Kamu sudah memperbaiki posisi
duduk empat kali. Sudah mengetuk botol vodkamu lebih dari duapuluh kali. Sudah
pula meneguk enam kali. Tapi kegugupanku belum juga terkendali.
“Kamu
memilih tempat seperti ini lagi.” Akhirnya kamu memutuskan untuk mengawali
percakapan, setelah duapuluh tiga menit berlalu tak berarti.
Aku mengangguk. Pandanganku
mengarah pada kursi. Aku tak berani menatap matamu yang tajam bagai belati.
“Lantas,
apa yang berbeda? Kamu terdiam, tak seperti biasanya.”
Kutahu, nadamu mencoba sabar.
Tapi maaf, aku belum punya cukup nyali untuk menjelaskannya. Kamu sudah menghembuskan
napas berkali-kali. Mengetuk botol dan meja, mencoba menahan diri.
“Langsung
saja.” Nadamu mulai panas.
“Apa?”
sungguh, aku menyesal telah mengatakannya. Kamu menggebrak meja. Marah. Tak
keras, memang. Tapi menimbulkan refleks cukup parah.
“Kamu
tahu, aku benci menunggu, benci membuang waktu.” Rahangmu menegang. Sekuat
tenaga kamu menurunkan emosi. “Kamu bilang tadi ada sesuatu yang penting yang
perlu kita bahas. Sudah tigapuluh satu menit kita duduk disini, saling diam.
Lalu maumu apa?”
Aku meneguk kopi satu kali.
Memperbaiki posisi duduk. Menatap sejenak bola matamu, sebelum akhirnya
tertunduk.
“Aku sayang sama kamu.” Kalimat pertamaku.
“Aku sayang sama kamu.” Kalimat pertamaku.
Tatapanmu kurasa melunak. Namun
dudukmu mulai tegak. Alismu terangkat. Dan aku tahu, kamu menunggu penjelasan
itu. Sabarlah, seperti aku yang sabar menanti hingga kamu siap.
“Dan
tiga tahun sama kamu bukan waktu yang singkat. Aku menghargai semua yang pernah
kita lakuin berdua. Aku bakalan kangen sama senyum, tawa, bahkan marahmu. Aku
bakal kangen sama leluconmu yang bikin aku enggak bisa berhenti ketawa. Aku…”
Kamu menarik napas panjang.
Mengisyaratkan agar aku memberi lampu merah sejenak untuk kalimatku. Tanganmu
mengepal. Tapi aku terlalu bodoh untuk memahaminya.
“Tolong,”
katamu, napasku tertahan seketika. “To the point.”
Aku harus melongo tujuh detik
sebelum akhirnya setengah berteriak, “Oh!”
Kamu tersenyum. Seakan
menertawakan ketololanku. Tolong, jangan katakan kamu sedang menahan sakit
dibalik senyum itu—senyum yang kurasa adalah yang tertulus selama ini.
“Aku…harus…pergi…”
susah payah aku bicara.
Kamu mematung seketika. Tubuhmu
tak bergeming. Matamu tak berkedip. Kamu begitu lurus menatap kearahku. Bahkan
aku tidak yakin apakah kamu masih bernapas atau tidak. Lalu, aku sedikit
menyesal telah mengatakannya sejujur itu. Aku berharap kamu memintaku mengatakannya
lagi, sekadar meyakinkan bahwa kamu tidak hidup dalam mimpi, sekalipun kalimat
itu adalah pedang bagi hatimu. Namun, lama kunanti, dan kamu masih diam. Seakan
tak sadar diri. Mulutmu menganga, seperti ada kata yang mau keluar tapi tak
bisa. Lagi, aku menunduk. Rasanya ada udara panas yang menyerbu. Mataku
memerah. Pandangan mengabur, dan aku tak sanggup lagi. Aku tidak tahu apakah
kamu juga merasakan sakit yang sama. Atau malah kamu bahagia?
Bukan rencanaku perpisahan ini
terjadi lagi. Kamu tahu, aku bukan Tuhan. Hidupku bukan aku yang menyusun dan
menentukan.
Kamu masih bertahan dengan
posisimu. Diam seperti patung. Terlihat tenang tapi mengesan linglung. Aku
tahu, kamu sedang berjuang keras mempercayai telingamu. Memastikan bahwa kamu
baik-baik saja dan tak ada yang salah dengan panca inderamu. Namun, sesuatu ini
hadir sebagai pengusik. Kamu tidak suka. Tapi sekali lagi, mau tidak mau, kamu
harus percaya bahwa aku tidak bercanda.
Kini, hubungan kita yang ‘lebih
dari seribu malam’ hampir sampai pada penghujungnya. Semua hari, kesempatan,
komunikasi, segala sesuatu yang kita lakukan bersama, akan bergeser jadi
masalalu, tertelan ganasnya Waktu. Garis batas itu memaksa kita untuk siap
kembali hidup dalam labirin masing-masing, mengatasi masalah kita
masing-masing, karena kita akan berada dalam kisah yang tak lagi sama. Lihatlah
pita merah itu. Lihatlah persimpangan itu. Pemisah kita. Pemutus kita.
Sebelum kaki sampai pada langkah
kesendirian disana, ijinkan aku berterimakasih untuk semua yang telah kamu
beri. Untuk semua senyum, tawa, suka-duka, airmata, juga amarah yang terjadi
silih berganti mewarnai kebersamaan kita. Mungkin, suatu saat nanti, kala aku
sudah begitu lelah dengan rutinitasku, kala aku punya banyak waktu untuk
merenungkan kisah hidupku, sedikit mengintip kebelakang, aku akan menemukanmu.
Berdiri, dan diam disana, entah dengan siapa. Mungkin aku akan merindukanmu.
Aku sudah berdiri untuk
mengecupmu terakhir kali, menggenggam erat jemarimu terakhir kali. Susah payah
aku menahan airmata.
“Tunggu,”
katamu setengah berbisik ketika kakiku menuruni anak tangga.
Aku setengah menoleh.
“Kamu
belum menyampaikan alasanmu. Aku butuh itu untuk benar memastikan semua ini
nyata,”
Aku mendesah. Sungguh, aku benci
tanya itu. Tapi ini kali terakhir kita, sejenak kupikir, dan kurasa tak ada
salahnya aku menjawabmu. Kamu menanti dengan sabar, meski aku tahu kamu juga
tidak menoleh secara penuh, kamu benar butuh jawab itu.
“Ada
orang lain.”
Dan, kuharap kamu sudah siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar