Sabtu, 24 Mei 2014

Penghujung Waktu

      “Kamu yakin?” tanyamu.
Aku hanya mengangguk. Akan ada banyak hal yang perlu kubicarakan nanti. Aku harus menghemat tenaga selagi bisa. Dan sekalipun tak kamu jelaskan dengan kata-kata, aku tahu, masih ada keraguan ketika kamu mengarahkan setir ke kanan. Entah sadar entah tidak, lampu sein kananmu tidak kamu hidupkan. Tetaplah tenang, seleraku masih sama.

      “Ah,”
Begitu singkat, sekalipun tak cepat. Lagi, aku malas menanggapi. Kamu sudah cukup dewasa untuk bisa paham sendiri. Tak perlu aku berceloteh panjang lebar untuk membuatmu mengangguk tanpa arti. Motor kamu parkir rapi. Aneh saja buatku. Tak pernah selama dua tahun kebersamaan kita, kamu bersikap begini.
Masih dengan siratan keraguan, kamu menapaki tanah, langkah demi langkah. Dan kamu terhenti pada anak tangga yang pertama. Hatiku bertanya, ‘Apa?’ minta penjelasan atas sikapmu barusan. Kusampaikan tanya melalui mata. Belum tepat rasanya aku memerintah otak mengeluarkan kata.

Kamu memandangku tajam. Memaksaku mengerti arti tatapan itu. Lama, aku baru bisa mendesah. Setumpuk kalimat yang kupersiapkan ternyata bisa membuat tidak peka. Tanpa banyak tingkah aku mendahului langkahmu, berjalan sok tegar di depanmu. Kamu mungkin belum tahu, dalam diam, aku menyimpan sendu itu.

Suasana temaram adalah yang pertama kali menyambut kita. Kelap-kelip lampu-lampu mungil tergantung setia di sana-sini. Kepulan asap rokok beberapa pengunjung memenuhi udara. Dentingan piano terlalu indah untuk mengiringi kita. Aroma petrichor menyeruak. Terasa manis, namun kali ini begitu mengiris. Suasana begitu romantis, hanya kitalah yang bersikeras mempertahankan raut sinis.

Secangkir kopi robusta dan sebotol vodka diantar ke meja. Tapi kamu pura-pura tidak peka. Kedua tanganmu sibuk menggenggap handphone, ibu jarimu menari di layar sentuh itu. Ah, masih kamu yang dulu. Aku pasti akan merindukan sikap acuh tak acuhmu.

Andai ada jam dinding pada tempat itu, kupastikan ia sedang tertawa. Ia akan menganggapku tolol dan bodoh karena kerasnya desakanku untuk bisa berada di sini bersamamu. Dan sekarang, untuk sekedar membuka mulutpun, aku belum siap.

Kamu sudah memperbaiki posisi duduk empat kali. Sudah mengetuk botol vodkamu lebih dari duapuluh kali. Sudah pula meneguk enam kali. Tapi kegugupanku belum juga terkendali.

     “Kamu memilih tempat seperti ini lagi.” Akhirnya kamu memutuskan untuk mengawali percakapan, setelah duapuluh tiga menit berlalu tak berarti.
Aku mengangguk. Pandanganku mengarah pada kursi. Aku tak berani menatap matamu yang tajam bagai belati.
        “Lantas, apa yang berbeda? Kamu terdiam, tak seperti biasanya.”
Kutahu, nadamu mencoba sabar. Tapi maaf, aku belum punya cukup nyali untuk menjelaskannya. Kamu sudah menghembuskan napas berkali-kali. Mengetuk botol dan meja, mencoba menahan diri.
        “Langsung saja.” Nadamu mulai panas.
     “Apa?” sungguh, aku menyesal telah mengatakannya. Kamu menggebrak meja. Marah. Tak keras, memang. Tapi menimbulkan refleks cukup parah.
      “Kamu tahu, aku benci menunggu, benci membuang waktu.” Rahangmu menegang. Sekuat tenaga kamu menurunkan emosi. “Kamu bilang tadi ada sesuatu yang penting yang perlu kita bahas. Sudah tigapuluh satu menit kita duduk disini, saling diam. Lalu maumu apa?”
Aku meneguk kopi satu kali. Memperbaiki posisi duduk. Menatap sejenak bola matamu, sebelum akhirnya tertunduk.
        “Aku sayang sama kamu.” Kalimat pertamaku.
Tatapanmu kurasa melunak. Namun dudukmu mulai tegak. Alismu terangkat. Dan aku tahu, kamu menunggu penjelasan itu. Sabarlah, seperti aku yang sabar menanti hingga kamu siap.
       “Dan tiga tahun sama kamu bukan waktu yang singkat. Aku menghargai semua yang pernah kita lakuin berdua. Aku bakalan kangen sama senyum, tawa, bahkan marahmu. Aku bakal kangen sama leluconmu yang bikin aku enggak bisa berhenti ketawa. Aku…”
Kamu menarik napas panjang. Mengisyaratkan agar aku memberi lampu merah sejenak untuk kalimatku. Tanganmu mengepal. Tapi aku terlalu bodoh untuk memahaminya.
       “Tolong,” katamu, napasku tertahan seketika. “To the point.”
Aku harus melongo tujuh detik sebelum akhirnya setengah berteriak, “Oh!”
Kamu tersenyum. Seakan menertawakan ketololanku. Tolong, jangan katakan kamu sedang menahan sakit dibalik senyum itu—senyum yang kurasa adalah yang tertulus selama ini.
       “Aku…harus…pergi…” susah payah aku bicara.

Kamu mematung seketika. Tubuhmu tak bergeming. Matamu tak berkedip. Kamu begitu lurus menatap kearahku. Bahkan aku tidak yakin apakah kamu masih bernapas atau tidak. Lalu, aku sedikit menyesal telah mengatakannya sejujur itu. Aku berharap kamu memintaku mengatakannya lagi, sekadar meyakinkan bahwa kamu tidak hidup dalam mimpi, sekalipun kalimat itu adalah pedang bagi hatimu. Namun, lama kunanti, dan kamu masih diam. Seakan tak sadar diri. Mulutmu menganga, seperti ada kata yang mau keluar tapi tak bisa. Lagi, aku menunduk. Rasanya ada udara panas yang menyerbu. Mataku memerah. Pandangan mengabur, dan aku tak sanggup lagi. Aku tidak tahu apakah kamu juga merasakan sakit yang sama. Atau malah kamu bahagia?

Bukan rencanaku perpisahan ini terjadi lagi. Kamu tahu, aku bukan Tuhan. Hidupku bukan aku yang menyusun dan menentukan.

Kamu masih bertahan dengan posisimu. Diam seperti patung. Terlihat tenang tapi mengesan linglung. Aku tahu, kamu sedang berjuang keras mempercayai telingamu. Memastikan bahwa kamu baik-baik saja dan tak ada yang salah dengan panca inderamu. Namun, sesuatu ini hadir sebagai pengusik. Kamu tidak suka. Tapi sekali lagi, mau tidak mau, kamu harus percaya bahwa aku tidak bercanda.

Kini, hubungan kita yang ‘lebih dari seribu malam’ hampir sampai pada penghujungnya. Semua hari, kesempatan, komunikasi, segala sesuatu yang kita lakukan bersama, akan bergeser jadi masalalu, tertelan ganasnya Waktu. Garis batas itu memaksa kita untuk siap kembali hidup dalam labirin masing-masing, mengatasi masalah kita masing-masing, karena kita akan berada dalam kisah yang tak lagi sama. Lihatlah pita merah itu. Lihatlah persimpangan itu. Pemisah kita. Pemutus kita.

Sebelum kaki sampai pada langkah kesendirian disana, ijinkan aku berterimakasih untuk semua yang telah kamu beri. Untuk semua senyum, tawa, suka-duka, airmata, juga amarah yang terjadi silih berganti mewarnai kebersamaan kita. Mungkin, suatu saat nanti, kala aku sudah begitu lelah dengan rutinitasku, kala aku punya banyak waktu untuk merenungkan kisah hidupku, sedikit mengintip kebelakang, aku akan menemukanmu. Berdiri, dan diam disana, entah dengan siapa. Mungkin aku akan merindukanmu.

Aku sudah berdiri untuk mengecupmu terakhir kali, menggenggam erat jemarimu terakhir kali. Susah payah aku menahan airmata.
       “Tunggu,” katamu setengah berbisik ketika kakiku menuruni anak tangga.
Aku setengah menoleh.
      “Kamu belum menyampaikan alasanmu. Aku butuh itu untuk benar memastikan semua ini nyata,”
Aku mendesah. Sungguh, aku benci tanya itu. Tapi ini kali terakhir kita, sejenak kupikir, dan kurasa tak ada salahnya aku menjawabmu. Kamu menanti dengan sabar, meski aku tahu kamu juga tidak menoleh secara penuh, kamu benar butuh jawab itu.

       “Ada orang lain.”

Dan, kuharap kamu sudah siap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar