Rabu, 07 Agustus 2013

Tentang 'dia' #1

Aku mengenalnya sejak lama. Sejak aku bisa mengenal orang lain, orang selain orang tuaku. Dan disanalah dia mulai merasuki otakku. Mulai menjadi manusia yang kurasa lebih dari penting, hingga aku tahu tentang dia seperti aku tahu tentang diriku. Dia tidak terlalu tinggi, sekitar 150 cm, hampir sama denganku. Dulu, dia punya lumayan daging dan lemak di balik kulitnya. Kini semua itu lenyap. Badannya menyusut, bahkan lengan bawahnya seperti hanya terdiri dari tulang dan kulit pembungkus. Matanya cokelat tua, mata asli Asia Tenggara; terlihat tanpa kelopak dengan bulu mata yang pendek, mirip mata dari daratan Cina. Hidungnya tidak terlalu mancung. Dagunya panjang dan runcing, membuat orang mengira dia keturunan bangsawan Mesir. Rambutnya hitam dan fleksibel. Kubilang fleksibel karena tidak selalu bisa dikata ikal, atau lurus, atau keriting. Rambutnya selalu bisa diatur semaunya. Bibirnya tidak mungil, juga tidak lebar, terlalu tebal juga tidak. Dan selalu terlihat berwarna merah tedas. Bila kugambarkan bibirnya adalah apel, maka tiap orang yang melihat apel itu pasti ingin menggigit dan menikmatinya.

Dulu, kuingat dia suka bercerita tentang kehidupannya. Tentang keluarganya. Tentang lukisan-lukisan ayahnya. Tentang sulaman dan rajutan ibunya. Tentang ribuan hal yang dia sukai, juga dia benci. Dia selalu mudah tertawa. Pembawaannya ceria dan menyenangkan. Dari matanya selalu terpancar bahagia. Kini aku sadar semua itu sudah hilang. Kisah terakhir yang dia ceritakan adalah tentang mantan kekasih yang begitu dicintainya. Dan setelah itu, tak ada lagi susunan kalimat yang bisa kudengar darinya. Dia kini sudah berbeda. Lebih banyak diam. Suka menyendiri, sibuk berbicara dengan hatinya yang sering tercabik. Aku tak bisa lagi menemukan bahagia dari sorot matanya. Bahkan saat bibirnya menggores tawa.

Aku ingat, tak ada yang berubah dari tawanya. Tetap renyah lepas dan akan dilakukannya sampai dia puas. Tapi mata tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat dengan jelas, ada guratan kesedihan di antara lensa dan irisnya. Alisnya pun sedikit terangkat. Kini, kutahu dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Rasa sakit yang pedih dia biarkan menumpuk dan memenuhi tiap ruang, bahkan ruang tempat dia meletakkan bahagia. Dari sinilah aku tahu mengapa dia begitu menghindari mataku. Dia tidak ingin orang lain mengetahui bebannya. Aku justru takut, takut kalau suatu saat nanti dia akan sampai pada satu titik yang membuat dia tidak bisa bertahan lebih lama.

Dia adalah seorang playgirl. Sungguh. Aku tidak berbohong karena aku menulis ini atas ijinnya. Dia mengakuinya kok. Dan kurasa orang yang dekat dengannya juga tahu hal ini. Dia biasa punya satu pacar dan banyak gebetan. “Ah cakep banget dia!” , “Masnya yang itu kece ya?” , “Eh, ganteng banget. Kenapa dia nggak jadi pacarku aja?” adalah beberapa kalimat yang biasa kudengar dari dia. Dan sekali lagi, kusadari semua itu sudah berlalu.

Aku mulai merasa jiwa playgirl-nya mundur teratur setelah dia mengenal seorang lelaki yang sekitar 3 tahun lebih tua darinya. Nama lelaki itu unik dan terkesan elite. Selebihnya, dia sama seperti pria pada umumnya. Tapi kurasa, dia sudah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta pada pria itu. Entah apanya yang istimewa, sampai dia tampak menggilainya. Aku yakin, dia pasti akan tetap memilih pria itu meski ada pria-pria lain yang terlihat jauh lebih lebih dan lebih. Kurasa dia sudah menemukan hatinya. Dia sudah menemukan tujuannya. Sesuatu yang selama ini dicarinya. Sebuah cinta. Dia sungguh-sungguh. Dan sepertinya, dari kesungguhannya pada pria itulah dia mulai merasakan sakit luar biasa, sakit yang membuatnya berubah.

Dia sempat terikat suatu hubungan dengan pria itu. Mereka saling cinta, saling berbagi, saling mengerti. Sayang, bahagia mereka terhenti pada hari ke 404. Hubungan mereka terputus, tapi tidak dengan cinta mereka. Aku tahu, dia masih sering mengingat momen bersama pria itu. Dia masih sering memimpikannya, bermain dengan bayangannya yang mungkin tidak akan jadi kenyataan. Sampai pada suatu hari, ketika sepupunya datang, dia punya kesempatan untuk bertemu dengan manusia yang sungguh dicintainya itu.

Aku tahu, bukan main girangnya dia ketika matanya benar menangkap pria itu secara nyata. Saking girangnya, mulutnya yang biasa cerewet, kini jadi bungkam. Tak satupun cerita atau pertanyaan berarti yang bisa diungkapnya. Semua yang ditanyakannya sungguh kedengaran konyol dan bodoh. Tapi kurasa dia tidak benar-benar mempedulikannya. Dia terlalu senang. Dia mendapatkan bahagianya lagi.

Hari itu berakhir dan datanglah hari baru. Kesedihannya (seolah) berakhir dan datanglah senyum baru. Pria itu menawarkan diri untuk menjemputnya. Raut wajahnya mendadak berubah. Mulutnya sedikit terbuka dan sorot matanya minta bantuan. Aku langsung panik.
                “Ini gimana?” tanyanya dengan nada yang sulit kujabarkan.
                “Ini sulit.” Jawabku serampangan.
Dia menghela napas dan mulai menghentak-hentakkan kakinya. Aku tahu, itu berarti dia sedang bingung. Manakah jalan yang harus dipilihnya? Di satu sisi dia sungguh cinta, dia ingin bahagia bisa melihat pria itu lagi, secara nyata. Dia tidak ingin mengecewakan pria itu karena dia tahu, manusia kesayangannya punya rasa yang masih sama. Tapi dia tidak siap dengan semuanya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya dengan melanggar aturan mereka. Haruskah dia menolak ajakan si pria? Atau dia nekat mengabaikan aturan orang tuanya?

Dia terdiam. Cukup lama. Matanya menekuni ubin tempat pijakan kakinya. Aku menunggunya. Aku menunggu keputusannya.
                “Aku dijemput papah aja ya.”

Mendadak, semua jadi hening. Angin pun menahan napas mereka. Aku seperti tidak memercayai telingaku. Aku merasa ada yang salah dengan sistem pendengaranku. Tapi itulah keputusannya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dia merelakan hatinya remuk redam demi orang tuanya. Dia rela perasaannya tertusuk dan bahagianya tertunda demi aturan keluarganya. Dia memaksa hatinya tega menolak cintanya demi ayahnya, demi ibunya. Padahal, dia sendiri tahu, dia harus kembali ke penantian jika dia mengikhlaskan kesempatan ini.

Aku tahu, luka hatinya cukup parah. Bila aku bisa, aku ingin terjun dalam danau airmatanya. Aku ingin ikut meleburkan diri, asal bisa menyelamatkannya dari semua itu.

Suatu hari, aku melihatnya sibuk dengan urusan dapur. Aku terkejut. Karena kuingat, dia sungguh benci memasak. Dia benci berurusan dengan sayuran. Dia benci berurusan dengan bumbu-bumbu, minyak, dan kecap. Dia benci berurusan dengan gula dan garam.
                “Aku lagi belajar masak.” Ucapnya polos ketika dia melihat tanda tanya besar dibalik tatapanku.
Aku menaikkan alis, masih belum terima dengan penjelasannya.
                “Biar besok kalau aku punya suami, aku bisa masakin dia.”
Oooh, itu alasannya. Aku diam saja. Kutahu, suami yang dia maksud adalah pria itu. Tangannya mulai terampil, meski kadang terlihat kaku. Aku masih terlalu bingung dengan laporan mataku, jadi aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya menatapnya. Memperhatikan gerakan tangannya. Mengamati raut wajah polosnya. Seakan kuingin menyelami hatinya, menemukan kitab cintanya, membaca tentang manusia yang ada di lembar pertama otaknya.

Ah, semakin hari, kurasa semakin berat beban yang ada di bahunya. Tapi kutahu, dia berusaha tampil tegar. Dia berusaha menutupi segala macam dan bentuk derita, sengsara, juga airmata. Di satu sisi, dari diriku sendiri, aku tidak tahan dengan semua itu. Aku tidak tahan melihat dia memikul bebannya sendirian. Aku ingin menolongnya. Aku ingin menyelamatkannya. Aku ingin membawanya pada satu lorong pelepasan yang ujungnya bertemu dengan cahaya Sang Surya. Aku ingin, tapi aku tak bisa. Entah mengapa, aku tak punya cukup kata-kata untuk menjabarkannya.

Dan, inilah dia. Inilah wanita dengan hati penuh pilu sendu. Inilah wanita dengan beban sebesar Gunung Merbabu. Inilah wanita itu, sisi lain dari...aku.

Cerita selanjutnya : Tentang 'dia' #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar