Tanganku
masih asyik menggenggam mouse, mataku
masih serius merunut kicauan-kicauanmu, telingaku masih menikmati alunan nada
yang berpadu dengan kata lalu jadi lagu, kepalaku masih mengangguk-angguk
mengikuti irama drum dari speaker.
Aku masih belum menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, aku tidak bisa
menjabarkannya dengan logika. Aku pakai firasat, kali ini. Aku menuruti apa
kata hati. Ia sepertinya punya sesuatu untuk kuketahui. Tanganku seperti ada
yang menggerakkan. Mataku seperti ada yang mengarahkan. Aku tidak tahu apa yang
perlu kuamati. Tapi aku merasa, hal itu penting, dan bodohlah aku jika aku
menolak untuk mencari.
Detik
demi detik masih setia berjalan sembari aku berperan jadi stalker, eh, detektif, eh, sekadar penerapan metode ilmiah. Ah,
terserahlah, intinya itu. Lalu, tiba-tiba saja aku terhenti pada satu
kicauanmu, yang entah mengapa, menggelitik untuk dikupas lebih jauh. Pointer-ku mengarah pada link expand.
Mataku mencermati tiap abjad. Sedetik kemudian, aku nyaris tertawa
terpingkal-pingkal. Tapi kutahan semua itu. Konyol rasanya jika tiba-tiba aku
menertawai sesuatu yang lucunya hanya menurutku saat di dekatku ada
manusia-manusia wajar, dan pasti tak sepaham dengan hatiku dalam kasus ini. Aku
benar-benar menahan tawa itu hingga perutku tegang dan kaku. Mataku mulai
berkaca-kaca dan sesegera mungkin aku berlari menuju toilet, menutup pintu,
berjongkok memegangi perut sembari masih berjuang menahan tawa.
Dia
lagi. Haha. Lagi-lagi dia. Lama aku mengatur napas, lalu tiba-tiba aku merasa
aku harus salut dengan perjuangannya. Aku benci mengatakan ini. Namun faktanya
dia adalah sainganku. Semua orang yang paham kasus cinta ini pasti berpendapat
begitu. Aku berjuang. Dia juga. Aku berjalan, dia berderap. Aku berlari, dia
melayang. Aku terbang, dia.. ah sudahlah. Aku dan dia sama-sama menguras tenaga
meski takarannya tak sama. Demi apa? Sudah jelas jawabnya; kamu. Untuk satu
kata itulah dua hawa melakukan ini itu, dari hal paling kece sampai yang paling
konyol, untuk memenangkan hatimu. Memenangkan. Bukan memperebutkan. Kamu pantas
untuk dimenangkan, terlalu istimewa untuk sekadar diperebutkan.
Suasana
hatiku kerap berganti sejak dia datang. Keingintahuan, ketika melihat timeline-mu dipenuhi satu nama yang terasa
asing. Kecemburuan, setelah membaca beberapa kicauan yang (mungkin) biasa bagi
kamu, bagi orang lain. Tapi kuyakin, tidak biasa bagiku dan bagi dia. Kadang
aku jadi ambisius, kadang aku jadi serius. Kadang pula panas, ketika kamu
menanggapi dia dengan baik, sementara aku? Bisa kamu jawab sendiri.
Hmm,
memang suasana hatiku kerap berganti. Tapi ada satu rasa yang bertahan dan
selalu cocok dalam segala suasana; takut.
Iya, aku takut. Apa kamu tahu?
Semenjak
dia hadir (entah dengan misi apa), aku sudah merasa dihantui rasa itu. Aku
takut, semua yang aku perjuangkan dalam waktu tak singkat ini bisa kalah hanya
dengan satu atau dua jurus darinya. Aku takut kamu suka dia. Aku takut, kalau
buatmu dia lebih jago, dewasa, indah, dan istimewa. Aku takut ketika kamu
sampai pada pengujung bimbangmu, pada titik akhir dari permenunganmu diantara
dua hati, kamu memilih dia. Meninggalkan segalaku, menyarankan aku untuk
berhenti menguras hati, tenaga, dan pikiran, lalu kembali pada hal yang bisa
membuatku bahagia, tapi, bahagia yang tanpa kamu. Sungguh, aku tak bisa
membayangkan bagaimana perasaanku kalau hal itu terjadi.
Bulu
kudukku meremang. Otakku tak sanggup mencerna, hati tak mampu berkata. Tak
terbayangkan dan tak bisa dibayangkan, menurut versimu.
Maka,
aku akan sampai pada titik terendah. Dimana aku tak mampu menerka tentang rasa.
Entah rasa dengan logika. Atau rasa dengan rasa.
Aku
tidak tahu, akankah kamu bisa memahami semua ini atau tidak. Aku takkan
memaksamu, sungguh. Bacalah saja. Terimalah saja. Kamu tak perlu memahami, tak
perlu mencari, tak perlu mengerti. Hanya perlu membaca. Dan, ingatlah satu hal
ini: aku takut. Aku takut kehilangan
kamu. Cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar