Minggu, 04 Agustus 2013

Aku takut, tentang kamu

Tanganku masih asyik menggenggam mouse, mataku masih serius merunut kicauan-kicauanmu, telingaku masih menikmati alunan nada yang berpadu dengan kata lalu jadi lagu, kepalaku masih mengangguk-angguk mengikuti irama drum dari speaker. Aku masih belum menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, aku tidak bisa menjabarkannya dengan logika. Aku pakai firasat, kali ini. Aku menuruti apa kata hati. Ia sepertinya punya sesuatu untuk kuketahui. Tanganku seperti ada yang menggerakkan. Mataku seperti ada yang mengarahkan. Aku tidak tahu apa yang perlu kuamati. Tapi aku merasa, hal itu penting, dan bodohlah aku jika aku menolak untuk mencari.

Detik demi detik masih setia berjalan sembari aku berperan jadi stalker, eh, detektif, eh, sekadar penerapan metode ilmiah. Ah, terserahlah, intinya itu. Lalu, tiba-tiba saja aku terhenti pada satu kicauanmu, yang entah mengapa, menggelitik untuk dikupas lebih jauh. Pointer-ku mengarah pada link expand. Mataku mencermati tiap abjad. Sedetik kemudian, aku nyaris tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kutahan semua itu. Konyol rasanya jika tiba-tiba aku menertawai sesuatu yang lucunya hanya menurutku saat di dekatku ada manusia-manusia wajar, dan pasti tak sepaham dengan hatiku dalam kasus ini. Aku benar-benar menahan tawa itu hingga perutku tegang dan kaku. Mataku mulai berkaca-kaca dan sesegera mungkin aku berlari menuju toilet, menutup pintu, berjongkok memegangi perut sembari masih berjuang menahan tawa.



Dia lagi. Haha. Lagi-lagi dia. Lama aku mengatur napas, lalu tiba-tiba aku merasa aku harus salut dengan perjuangannya. Aku benci mengatakan ini. Namun faktanya dia adalah sainganku. Semua orang yang paham kasus cinta ini pasti berpendapat begitu. Aku berjuang. Dia juga. Aku berjalan, dia berderap. Aku berlari, dia melayang. Aku terbang, dia.. ah sudahlah. Aku dan dia sama-sama menguras tenaga meski takarannya tak sama. Demi apa? Sudah jelas jawabnya; kamu. Untuk satu kata itulah dua hawa melakukan ini itu, dari hal paling kece sampai yang paling konyol, untuk memenangkan hatimu. Memenangkan. Bukan memperebutkan. Kamu pantas untuk dimenangkan, terlalu istimewa untuk sekadar diperebutkan.

Suasana hatiku kerap berganti sejak dia datang. Keingintahuan, ketika melihat timeline-mu dipenuhi satu nama yang terasa asing. Kecemburuan, setelah membaca beberapa kicauan yang (mungkin) biasa bagi kamu, bagi orang lain. Tapi kuyakin, tidak biasa bagiku dan bagi dia. Kadang aku jadi ambisius, kadang aku jadi serius. Kadang pula panas, ketika kamu menanggapi dia dengan baik, sementara aku? Bisa kamu jawab sendiri.

Hmm, memang suasana hatiku kerap berganti. Tapi ada satu rasa yang bertahan dan selalu cocok dalam segala suasana; takut. Iya, aku takut. Apa kamu tahu?

Semenjak dia hadir (entah dengan misi apa), aku sudah merasa dihantui rasa itu. Aku takut, semua yang aku perjuangkan dalam waktu tak singkat ini bisa kalah hanya dengan satu atau dua jurus darinya. Aku takut kamu suka dia. Aku takut, kalau buatmu dia lebih jago, dewasa, indah, dan istimewa. Aku takut ketika kamu sampai pada pengujung bimbangmu, pada titik akhir dari permenunganmu diantara dua hati, kamu memilih dia. Meninggalkan segalaku, menyarankan aku untuk berhenti menguras hati, tenaga, dan pikiran, lalu kembali pada hal yang bisa membuatku bahagia, tapi, bahagia yang tanpa kamu. Sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku kalau hal itu terjadi.

Bulu kudukku meremang. Otakku tak sanggup mencerna, hati tak mampu berkata. Tak terbayangkan dan tak bisa dibayangkan, menurut versimu.

Maka, aku akan sampai pada titik terendah. Dimana aku tak mampu menerka tentang rasa. Entah rasa dengan logika. Atau rasa dengan rasa.

Aku tidak tahu, akankah kamu bisa memahami semua ini atau tidak. Aku takkan memaksamu, sungguh. Bacalah saja. Terimalah saja. Kamu tak perlu memahami, tak perlu mencari, tak perlu mengerti. Hanya perlu membaca. Dan, ingatlah satu hal ini: aku takut. Aku takut kehilangan kamu. Cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar