Jumat, 09 Agustus 2013

Firasat

Bulu kudukku meremang. Entah ada apa di balik semua ini, yang jelas, perasaan tak enak mengiringi dan aku jadi punya pikiran negatif setelah itu.

Kamu sendiri tahu, aku terpaksa punya profesi baru, sebagai seorang stalker setelah seseorang datang ke hidupmu, lalu jadi bagian dari hari-harimu. Dia adalah satu dari sedikit wanita yang setiap hari kamu mention. Dia adalah satu dari sekian banyak akun yang kamu ikuti kicauannya, yang kamu balas tweetnya. Yang kalian bicarakan selalu berganti, bahkan dalam hitungan detik. Tapi kutahu, ada yang takkan berubah dari kalian: hati. Entah bagaimana pastinya, bagaimana tepatnya, aku tidak tahu, karena aku sendiri hanya mengandalkan firasat, aku tak punya indra keenam.

Setelah percakapan panjang kalian resmi dimulai, setelah beberapa kicauan kalian resmi terpampang di profil dan tertera di timeline, dia, wanita itu, selalu menyempatkan diri untuk menuliskan kata atau kalimat yang berbau perasaan. Sungguh. Aku hapal akan itu karena aku jadi seorang stalker sekarang. Aku selalu berharap semua yang dia tulis, tentang perasaannya padamu, tentang hatinya, hanya bercanda. Tapi kenyataan seolah berkata lain. Seperti ada yang mengatakan padaku, dia serius. Entah kamu.

Aku merinding lagi.

Aku masih ingat, waktu kamu datang ke rumahku pada hari Sabtu siang. Setelah kamu terduduk cukup lama, setelah kita terlibat percakapan penting cukup lama, kamu hening sejenak, lalu berkata, “Iya ya. Jangan-jangan yang kamu tulis dulu itu beneran..”

Seketika aku merinding dan darahku berdesir meski aku belum paham sepenuhnya maksud dari kalimatmu itu. Aku minta penjelasan. Dan, tahukah kamu? Saat penjelasanmu masuk ke telinga, aku merasa ada sesuatu yang cukup kuat sedang menohok jantungku dan berusaha meremukkannya. Aku jadi kepikiran setelah itu. Kalender duduk...daun berbentuk hati...dan inisialmu dari kawat emas... Mendadak aku ingat waktu aku mengambil sesuatu di dekat kalender itu, aku tak sengaja menjatuhkannya. Kuambil kalender itu, kulihat inisialmu jatuh. Secara logika, apa pentingnya inisial yang jatuh? Bukankah semua benda yang terpasang di kalender itu bisa jatuh juga? Namun, entah mengapa, desauan angin berhenti satu detik, lalu aku sadar akan sesuatu yang selama ini jadi ketakutanku.

Kamu, dia. Ah, rasanya sembilan karakter itu cukup untuk menjelaskan semuanya.

Aku sudah (sangat) sering membaca kicauan kalian. Sampai lelah aku dibuatnya. Sampai lebih dari galau rasanya. Kamu sungguh baik padanya di sosial media. Dan kurasa, tak mungkin kamu tidak baik padanya secara pribadi. Dari tulisan-tulisannya, dari tulisan-tulisanmu, seakan aku diberi kode oleh Sang Waktu untuk mulai menyiapkan hati. Seolah aku diberi kesempatan untuk menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin, menghembuskannya sekali sentak, dan berkata “aku siap”.

Aku harus siap. Untuk apa? Untuk satu hari di depan sana. Satu hari yang masih samar, tidak jelas. Tapi aku yakin, hanya ada dua kemungkinan tentang hari itu: menyakitkan atau menyenangkan. Menyakitkan, jelas sudah. Aku harus siap dan dipaksa untuk tegar bila pada akhirnya kamu memilih pergi dengan dia. Menyenangkan, yaah kalau kamu memilihku, dan kita kembali menyusun mimpi bersama seperti beberapa waktu yang lalu.

Merenungkan tentang kalian dan betapa baiknya kamu terhadap dia, aku jadi bertanya-tanya. Di sosial media kamu biasa saja terhadapku, tapi secara pribadi, kamu bersikap sama seperti dulu. Begitu baik, manis, dan romantis. Deretan kata-kata yang menenangkan sudah biasa kamu kirimkan, dan, secara tak langsung, kamu sedang memberi kode untukku. Kode apa? Mereka yang paham jelas sudah bisa menebak. Lalu pikiranku kembali dipenuhi tentang wanita itu, juga tentang kamu tehadapnya. Kalau di sosial media saja kalian bisa terlibat pembicaraan yang menarik nan asyik, bagaimana secara pribadi? Aku ragu kamu akan biasa saja.
Kamu bukan Pemberi Harapan Palsu. Aku akin akan itu. Tapi sekarang, imanku pada satu hal tersebut sedikit goyah gara-gara kedekatanmu dengannya. Kamu pernah bilang, kamu tidak suka dia, meski dia suka, eh cinta kamu. Kamu meyakinkan aku kalau kamu sayang sama aku, bukan orang lain. Tapi mengapa mataku sampai juga pada kicauannya yang berkata kalau kamu suka dia?

Hah, entahlah. Mungkin yang bodoh aku, atau kamu, atau dia, atau kita semua. Maaf, tulisanku ini terlalu amburadul, konyol, tak masuk akal, tak jelas, juga kekanak-kanakan. Tapi aku punya satu pesan yang penting di sini. Aku masih ingat kamu tak suka dengan kode-kode. Jadi baiknya, aku tulis saja secara terang, semoga kamu baca.

Aku takut kamu akan pergi, sayang. Aku takut kamu akan meninggalkan segalaku dan berlari menuju dia, menggapai tangannya, siap untuk menyusun mimpi bersama dia. Jujur, aku sudah banyak mengecap rasa pahit karena disakiti. Tapi ini spesies baru, sayang. Dan aku tak yakin aku siap meski sudah seharusnya aku siap. Aku mulai bertanya-tanya, apakah kata-kata sayangmu untukku itu memang benar, atau hanya bercanda? Mengingat status kita yang belum jelas mau dinamai dan disebut apa. Aku takut sayang. Tolong jangan seperti ini. Beri aku kejelasan dan penjelasan tentang perasaanmu yang sesungguhnya pada dia, juga padaku. Karena firasatku menyembul, menggebu, dan mulai mengganggu, sayang.  Aku tak suka. Firasat itu menyakitkan.


Regards,

-Litha-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar