Bulu
kudukku meremang. Entah ada apa di balik semua ini, yang jelas, perasaan tak
enak mengiringi dan aku jadi punya pikiran negatif setelah itu.
Kamu
sendiri tahu, aku terpaksa punya profesi baru, sebagai seorang stalker setelah seseorang datang ke
hidupmu, lalu jadi bagian dari hari-harimu. Dia adalah satu dari sedikit wanita
yang setiap hari kamu mention. Dia adalah
satu dari sekian banyak akun yang kamu ikuti kicauannya, yang kamu balas tweetnya. Yang kalian bicarakan selalu
berganti, bahkan dalam hitungan detik. Tapi kutahu, ada yang takkan berubah
dari kalian: hati. Entah bagaimana pastinya, bagaimana tepatnya, aku tidak
tahu, karena aku sendiri hanya mengandalkan firasat, aku tak punya indra
keenam.
Setelah
percakapan panjang kalian resmi dimulai, setelah beberapa kicauan kalian resmi
terpampang di profil dan tertera di timeline,
dia, wanita itu, selalu menyempatkan diri untuk menuliskan kata atau kalimat yang
berbau perasaan. Sungguh. Aku hapal akan itu karena aku jadi seorang stalker sekarang. Aku selalu berharap
semua yang dia tulis, tentang perasaannya padamu, tentang hatinya, hanya
bercanda. Tapi kenyataan seolah berkata lain. Seperti ada yang mengatakan
padaku, dia serius. Entah kamu.
Aku merinding
lagi.
Aku masih
ingat, waktu kamu datang ke rumahku pada hari Sabtu siang. Setelah kamu
terduduk cukup lama, setelah kita terlibat percakapan penting cukup lama, kamu
hening sejenak, lalu berkata, “Iya ya. Jangan-jangan yang kamu tulis dulu itu
beneran..”
Seketika
aku merinding dan darahku berdesir meski aku belum paham sepenuhnya maksud dari
kalimatmu itu. Aku minta penjelasan. Dan, tahukah kamu? Saat penjelasanmu masuk
ke telinga, aku merasa ada sesuatu yang cukup kuat sedang menohok jantungku dan
berusaha meremukkannya. Aku jadi kepikiran setelah itu. Kalender duduk...daun
berbentuk hati...dan inisialmu dari kawat emas... Mendadak aku ingat waktu aku mengambil
sesuatu di dekat kalender itu, aku tak sengaja menjatuhkannya. Kuambil kalender
itu, kulihat inisialmu jatuh. Secara logika, apa pentingnya inisial yang jatuh?
Bukankah semua benda yang terpasang di kalender itu bisa jatuh juga? Namun,
entah mengapa, desauan angin berhenti satu detik, lalu aku sadar akan sesuatu
yang selama ini jadi ketakutanku.
Kamu,
dia. Ah, rasanya sembilan karakter itu cukup untuk menjelaskan semuanya.
Aku sudah
(sangat) sering membaca kicauan kalian. Sampai lelah aku dibuatnya. Sampai lebih
dari galau rasanya. Kamu sungguh baik padanya di sosial media. Dan kurasa, tak
mungkin kamu tidak baik padanya secara pribadi. Dari tulisan-tulisannya, dari
tulisan-tulisanmu, seakan aku diberi kode oleh Sang Waktu untuk mulai
menyiapkan hati. Seolah aku diberi kesempatan untuk menarik napas sedalam dan
sepanjang mungkin, menghembuskannya sekali sentak, dan berkata “aku siap”.
Aku harus
siap. Untuk apa? Untuk satu hari di depan sana. Satu hari yang masih samar,
tidak jelas. Tapi aku yakin, hanya ada dua kemungkinan tentang hari itu:
menyakitkan atau menyenangkan. Menyakitkan, jelas sudah. Aku harus siap dan
dipaksa untuk tegar bila pada akhirnya kamu memilih pergi dengan dia. Menyenangkan,
yaah kalau kamu memilihku, dan kita kembali menyusun mimpi bersama seperti
beberapa waktu yang lalu.
Merenungkan
tentang kalian dan betapa baiknya kamu terhadap dia, aku jadi bertanya-tanya. Di
sosial media kamu biasa saja terhadapku, tapi secara pribadi, kamu bersikap
sama seperti dulu. Begitu baik, manis, dan romantis. Deretan kata-kata yang
menenangkan sudah biasa kamu kirimkan, dan, secara tak langsung, kamu sedang memberi
kode untukku. Kode apa? Mereka yang paham jelas sudah bisa menebak. Lalu pikiranku
kembali dipenuhi tentang wanita itu, juga tentang kamu tehadapnya. Kalau di sosial
media saja kalian bisa terlibat pembicaraan yang menarik nan asyik, bagaimana
secara pribadi? Aku ragu kamu akan biasa saja.
Kamu
bukan Pemberi Harapan Palsu. Aku akin akan itu. Tapi sekarang, imanku pada satu
hal tersebut sedikit goyah gara-gara kedekatanmu dengannya. Kamu pernah bilang,
kamu tidak suka dia, meski dia suka, eh cinta kamu. Kamu meyakinkan aku kalau
kamu sayang sama aku, bukan orang lain. Tapi mengapa mataku sampai juga pada
kicauannya yang berkata kalau kamu suka dia?
Hah,
entahlah. Mungkin yang bodoh aku, atau kamu, atau dia, atau kita semua. Maaf,
tulisanku ini terlalu amburadul, konyol, tak masuk akal, tak jelas, juga
kekanak-kanakan. Tapi aku punya satu pesan yang penting di sini. Aku masih
ingat kamu tak suka dengan kode-kode. Jadi baiknya, aku tulis saja secara
terang, semoga kamu baca.
Aku takut kamu akan pergi, sayang. Aku takut
kamu akan meninggalkan segalaku dan berlari menuju dia, menggapai tangannya,
siap untuk menyusun mimpi bersama dia. Jujur, aku sudah banyak mengecap rasa
pahit karena disakiti. Tapi ini spesies baru, sayang. Dan aku tak yakin aku
siap meski sudah seharusnya aku siap. Aku mulai bertanya-tanya, apakah
kata-kata sayangmu untukku itu memang benar, atau hanya bercanda? Mengingat
status kita yang belum jelas mau dinamai dan disebut apa. Aku takut sayang. Tolong
jangan seperti ini. Beri aku kejelasan dan penjelasan tentang perasaanmu yang
sesungguhnya pada dia, juga padaku. Karena firasatku menyembul, menggebu, dan
mulai mengganggu, sayang. Aku tak suka. Firasat
itu menyakitkan.
Regards,
-Litha-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar