Aku
menuliskan semua ini ketika hatiku beralih fungsi jadi tempat sampah dan
kuburan. Tempat aku membuang dan mengubur semua rasa sakit karena dikhianati,
diabaikan, dan disia-siakan. Tempat aku menyimpan semua rasa sedih, pedih, perih,
juga kecewa. Sesungguhnya aku tidak ingin membebani orang lain dengan bebanku.
Aku benci membuat otak mereka ikut memikirkan perasaanku, dan bagaimana aku
harus bersikap pun bertindak. Aku tidak mau sepersekian waktu hidup mereka
tersita demi melihat airmata dan guratan kesedihan di wajahku. Aku tidak suka.
Tapi waktu tak kunjung menyerah. Ia masih bertahan dalam misi menghimpit
harapanku, memporak-porandakan hatiku, mencegah rasa cinta di pembuluh-pembuluh
darahku. Nyaliku mulai habis, padahal aku tidak tahu bagaimana cara mengisinya
lagi.
Aku
menuliskan semua ini ketika aku tidak tahu kemana aku harus bercerita. Diluar
sana, orang-orang yang kulihat, baik yang kukenal maupun tidak, sudah jadi
alasan dari airmataku. Aku tidak paham. Mereka seperti membuat suatu
kesepakatan untuk menusukku secara bersama-sama. Mereka seperti sudah
menetapkan waktu untuk mencampakkan aku dengan lebih keras. Melucuti semua
bahagia lalu memaksaku menelan kapsul pahit tanpa setetes airpun.
Aku
hanya ingin berkata: aku lelah. Itu saja. Tidak lebih. Tapi rasanya tenaga yang
tersisa, rasa yang masih ada, tidak cukup kuat untuk membuat orang lain
mendengar dan memahami. Atau mungkin, aku tidak perlu mengungkapkannya karena
mereka sudah tahu meski berusaha mengabaikan dan acuh tak acuh.
Aku
butuh pelepasan. Aku butuh udara. Aku butuh lorong yang membawaku kepada
cahaya. Tapi aku tak kunjung menemukannya.
Hah,
entahlah, semua terasa semakin berat. Dan tak seorangpun peduli terhadapku.
Mereka hanya bisa menyalahkan aku. Memaki. Memojokkan. Menakuti. Menusuk.
Mencabik. Melukai. Tanpa sadar, manusia yang mereka sakiti adalah orang yang
sedang berada dalam kesakitan. Mereka pikir aku manusia tanpa masalah, karena
selama ini aku diam dan tak pernah mengungkapkan atau menjabarkan rasa sakit
macam apa yang ada di hati ini. Mereka kira aku manusia paling bahagia karena
bibirku terus menggores senyum dan tawa. Tak ada airmata.
Dan,
mereka salah besar. Aku adalah aku yang sama dengan banyak orang. Punya rasa
sakit hati yang begitu dalam, begitu berat. Punya airmata kesedihan yang
banyak, meski tak pernah kuperlihatkan. Tapi mereka tidak tahu. Mereka takkan
pernah tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar