Mataku terus menatap keluar jendela. Mengamati kendaraan
yang ikut lalu lalang. Suara bising, karbondioksida yang beterbangan, seakan
sudah melekat pada jalanan kota. Pejalan kaki berseliweran di sana sini.
Menapaki trotoar, atau kadang aspal. Dan di sinilah aku. Di Jalan Gejayan.
Dekat sekali dengan hunianmu. Ada bersitan rasa bahagia karena pada akhirnya,
sampai juga aku di sini meski dengan butiran keringat yang menghiasi pelipis
dan jidat.
Kubuka pintu dan turun. Harapan untuk dapat menghirup udara
segar sirna seiring lampu hijau yang menyala. Karena dengan tanda itu, maka
para pengemudi akan tancap gas dan mengeluarkan asap dari knalpot kendaraan
mereka, lalu perlahan menghilang dari tangkapan mata. Mulutku tak sedikitpun mengeluarkan
suara. Hanya mataku yang terus menerus menatap jalanan, berharap ada sosokmu
dengan motor GL-PRO dan helm NHK putih kesayanganmu. Namun sampai lelah aku
menatap, kau tetap tak ada.
Jangan tertawa. Karena aku hanya berbicara fakta. Kenyataan
yang demikian adanya. Seperti sudah menjadi ritual pribadiku bila kaki atau
roda kendaraanku melintas di jalan ini. Mencarimu. Terdengar konyol memang.
Tapi SEKALI LAGI, itulah fakta. Aku tidak berdusta. Tak bosan-bosannya aku
meneliti meski sangat kecil kemungkinan untuk menemukanmu di antara ratusan bahkan
ribuan kendaraan dan manusia.
Aku mendesah. Kubuka pintu dan masuk. Siap untuk tujuan
selanjutnya. Ketika mesin sudah hidup dan roda mulai berputar, mataku tak lepas
dari jalan. Baik di sisi kanan maupun kiriku. Kupandangi lagi satu-persatu,
kadang juga bebarengan. Aku sempat menajamkan pandangan ketika ada motor GL-PRO
yang melintas. Sedetik kemudian, desahan napas kecewa keluar dari hidung. Itu
bukan dirimu.
Mobil berhenti. Aku mengambil tasku dan turun. Kemudian
menyeberangi jalan dan masuk ke toko bercat merah itu. Belasan kamera SLR
terpampang di balik kaca etalase. Dan tak ada satupun yang menarik perhatianku.
Mataku terus menatap jalan. Membiarkan mereka yang mengajakku ke tempat ini
sibuk beradu argumentasi tentang keunggulan dan kelemahan masing-masing produk.
Menit-menit berlalu, mereka melangkahkan kaki, keluar dari
toko itu. Pancaran sinar mata terimakasih ditujukan pada si pemilik toko. Aku
mengikuti langkah-langkah mereka. Tanpa berkomentar sedikitpun. Jarak 200 meter
termakan langkah dan kami sama-sama berhenti di sebuah toko (lagi). Sama
seperti tadi, tak satupun kamera yang cantik atau menarik. Tentu saja, karena
tujuanku ikut bukan untuk mencari kamera. Aku mencarimu. KAMU. Meski aku tahu
kemungkinan untuk menemukanmu sangat kecil. Kuulangi lagi, SANGAT KECIL.
Pertanyaannya, mengapa aku menghabiskan waktu untuk memaksa
mata menelisik Jalan Gejayan, meter demi meter? Mengapa aku tak ikut beradu
argumentasi saja dengan mereka? Setidaknya itu sedikit lebih bermanfaat, bukan?
Entahlah. Aku juga tak kunjung mengerti mengenai semua ini.
Pada akhirnya, dengan iringan desah napas berat dan
kekecewaan yang tak mampu digambarkan dengan kata-kata, aku kembali ke mobil.
Menutup pintu dengan wajah datar. Tak ada lagi harapan melihatmu yang tersisa.
Aku pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar