Aku menutup mata. Menahan bekas luka yang rasanya tak mampu
diungkap melalui kata. Desahan napas berat berhembus dari balik dada. Sakit.
Perih. Pedih. Nyatanya masih tersisa meski waktu telah berjalan entah berapa
lama.
Sosokmu terfokus lebih jelas dengan bantuan lensa kacamata.
Masih kau yang dulu. Rambut keriting, bibir tebal, kulit putih dan sederet
kekeceanmu. Hanya aku beserta nurani yang merasa telah memandang dalam
keasingan.
Sepatu barumu, hitam‒bergaris merah–beralas putih yang baru keluar
dari totko itu melangkah pelan memasuki kelas.
Hilang.
Dan aku kembali mendesah.
***
Kantin mulai ramai.
Susah payah aku menembus lusinan manusia yang sibuk dengan
makanan dan uang mereka. Tak ada kau dalam jejakku kala itu. Sampai seorang
teman menyikutku. Matanya melirik pada satu titik. Dan aku mengikuti titik itu.
Kau.
Berjarak kurang dari satu meter dari tempat aku berdiri.
Jantungku sontak berlari. Melonjak-lonjak seperti seekor gajah yang melihat
tikus. Rongga dadaku nyaris meledak. Telinga panas dan hati bak sebuah ruangan
tanpa penerang. Gelap. Sekujur tubuhku kaku. Tangan dingin diiringi perasaan
ngilu.
Cepat-cepat kutinggalkan tempat itu. Menarik lengan temanku
lalu mengambil langkah seribu.
“De’e mau ngundang mami ”
Aku melotot. “Mami? Sopo
le ngundang?”
“Sopo meneh?”
Kutatap dia setengah tak percaya. Kau telah menyapa temanku. Entah
mengapa, ada guratan rasa sakit yang menjalar ke pembuluh darah. Seluruh ujung
sarafku terasa disengat.
Aku tahu, aku tak ada lagi dalam otakmu. Atau mungkin memang tak
pernah ada. Aku bukan orang penting. Aku wayang. Plastik. Karet. Boneka. Mainan
buat pereda emosimu. Sesuatu yang bisa disayang-sayang, lalu dicampakkan dari
puncak dunia. Dibuang dengan kecepatan cahaya yang mampu meniadakan segala
macam rasa.
Tapi mengapa, mengapa selalu sulit untuk seorang aku melupakanmu?
Tak adakah cara untuk meleburmu bersama lusinan anak panah yang sempat kau
tancapkan di hatiku? Aku selalu kesakitan kala mengingatmu. Kala melihatmu.
Kala mendengar semua yang berbau dirimu. Aku ingin bahagia. Bahagia menikmati
hidup tanpa ada kau bersama pengawal-pengawal kejammu.
***
“Ngapain
di situ?” protesku ketika mereka memilih duduk di kursi depan kelas mantanmu.
Tak ada jawaban. Akhirnya kuparkirkan juga pantatku di situ. Tapi aku gelisah.
Aku tak bisa duduk lama-lama di sini. Di tempat yang dekat sekali denganmu.
Belum berapa lama, kau lewat. Aku memalingkan muka. Berusaha bersikap
seolah-olah kau tak pernah ada.
“Cie,
matanya melirik,”
Aku menyendengkan telinga pada temanku. “Aku nggak nglirik.”
Ujarku tegas.
“Dia
yang nglirik.”
Oh, bagus sekali.
Semoga telingaku salah dengar. “Hm.”
Apa-apaan kau ini? Ada apa dengan dirimu? Ada salah apa
dengan susunan sarafmu? Aku benar tak habis pikir. Sebenarnya, kalau boleh
pilih, lebih baik kau tak usah menyapaku. Jangan mengingatkanku pada hal-hal
yang lalu itu. Semua sudah cukup menyakitiku, bukan? Semua juga sudah cukup
membuatmu tertawa puas.
Aku memandang kearah timur. Niatnya ingin mengelak dari
kejaran pandangan matamu. Namun aku justru mendapatkannya. Pandangan yang sama
sekali tak kuharapkan itu. Ketajamanmu masih seperti dulu. Senyummu merekah.
Tangan kirimu melambai kecil.
Kau mengunci pandanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar