Selasa, 22 Januari 2013

Sapaanmu Kembali

Hai, Arjuna.

Senin , 21 Januari 2013, kita dan 189 siswa lain berangkat menuju Gedung Erlangga. Menghadiri acara motivasi, persiapan mental dan hati menghadapi UN 2013 April nanti.

Hari itu adalah hari pertama di tahun 2013 kita bersalaman. Ada perasaan tak siap kala aku harus melakukannya. Jantungku berdegup kencang, pertanda sesuatu yang kulakukan bukan sesuatu yang biasa, bagiku.

Kalau aku tahu, kau ada di jalan yang sama, namun berlawanan dengan arahku, tentu aku tak akan lewat situ. Namun sudah sangat terlambat untuk kembali, dan mengambil jalan yang tak akan bertemu denganmu. Jadilah, entah disengaja atau tidak, mata kita bertemu. Segores senyummu melintas, membuatku tak mampu lagi bersandiwara, pura-pura tidak mengenalmu. Jarak kita mendekat dan pada detik itu, tangan kanan kita sama-sama terulur, dan akhirnya bersalaman.
                “Sukses ya,” lirihku. Kulukis selengkung senyum seadanya.
Senyummu menyimpul. Barisan gigi putihmu terekam jelas di mataku. Matamu menyipit. Kontan jantungku tertohok. Ekspresimu kembali menyingkap tabir masalalu. Rindu yang menggebu-nggebu terhadap sosokmu yang dulu memenuhi benakku. Sebersit kenangan tentang perasaan yang telah tercabik-cabik merambat ke otakku. Segelombang cinta menyengat ujung syarafku. Perlahan kau melepas tangan dan akupun kembali berjalan keluar ruangan.

Masih di hari yang sama. Aku turun dari bus dan berjalan menuju motor yang menjemputku. Pandanganku hanya terfokus pada satu titik, dan titik itu BUKAN kau. Aku duduk di jok, lalu mataku menyabet apapun yang bisa kulihat di sekelilingku. Ada kau. Duduk di jok motormu, siap kembali pulang. Tepat di seberangku. Arah jam sembilan. Mau tak mau, mataku terpaku padamu. Dan lagi, senyum dan barisan gigimu mengarah padaku.

Keesokan harinya, bel pulang telah berdengung-dengung. Ratusan calon penggerak bangsa di masa depan dengan wajah sumringah keluar kelas. Tak terkecuali seorang aku. Hari ini aku tidak les. Jadi, langkah mantapku mengayun menuju gerbang. Satu menit, tiga menit, lima menit, motor yang menjemputku belum terlihat sembulannya. Udara panas. Matahari menyengat. Peluh mulai mengaliri jidatku. Tanpa satupun alasan, kepalaku menengok ke belakang. Dan aku langsung menyesali gerakan itu ketika mataku sempat merekam sebentuk siluetmu. Dalam hati aku berdoa kau tak menuju ke arahku, kalaupun menuju, kau tidak melihatku. Sayangnya, Sang Waktu senang mengindahkan permohonanku.

Aku sudah melempar pandangan ke arah jam dua. Berusaha membutakan mata dari sosokmu. Berusaha menulikan telinga dari suaramu. Berusaha membisukan mulut dari komentar tentangmu. Namun meski mata tak melihat dan telinga tak mendengar, hati tetap memiliki goresan rasa yang disebut firasat. Dan itu membuatku lepas kendali. Aku mengerling padamu. Di retina terpampang jelas gerakan bibirmu.
                “Belum dijemput?” senyum ramahmu terbit.
                “Ha?” lirihku. Refleks karena hatiku belum siap untuk pertanyaanmu.
                “Belum dijemput?” ulangmu.
                “Oh, belum.”
Kau mengangguk.

Dan raut wajahmu yang selalu kusukai itu membekas di sanubari, meski langkah tegapmu sudah mengayun, menjauh dari tempat aku berdiri.

Dokumen itu terbuka lagi, Arjuna. Masa yang pernah kucintai telah pulang. Kau seperti kembali dekat. Seakan tangan lemahku mampu menangkap cahayamu. Seolah pancingku telah terkait di ujung kalimatmu.

Sapaanmu kembali :”D

Senyummu menyentuh dasar hati :”D


Dalam gelap malam,
diantara milyaran bintang,
hati kecilku selalu menyimpan tanya,
masihkah tersisa sayang untukmu sampai sejauh ini?


With Love,
-Litha-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar