“Tik, menurut lo, apa semua
ini ada hubungannya sama yang di bus itu?” tanyaku. Memotong cerita Tika soal
Arvi dan Tasya di Pizza Hut Amplaz.
“Ck,”
Tika berdecak. “berarti daritadi lo nggak dengerin cerita gue ya?” dipasangnya
tampang kesal.
“Eh?
Enggak, enggak. Gue dengerin kok,” jawabku buru-buru. “justru karena gue
dengerin lo, otak gue jalan sampe ke situ.”
Dia mengangkat bahu. “Nggaktau,” jawabnya. “Bisa iya, bisa
enggak,”
Aku menghela napas.
“Kenapa?
Lo keliatan takut gitu? Kata Lisa lo udah nggak peduli sama Arvi,” ujarnya
santai.
“Lisa
cerita ke lo?” tanyaku.
Tika manggut-manggut. “Iya. Pake emosi segala ceritanya. Lo
emang bilang apa ke Lisa? Gue nggak pernah liat dia sepanas itu.”
“Gue
panggang,” candaku.
Tika mencibir. “Gue serius, Dir.”
Aku tertawa. “Nggak gue apa-apain kok. Gue cuman bilang kalo
Arvi nggak ngasih kabar empat hari.”
“Tapi
masa kalo lo cuman bilang gitu, Lisa sampe emosi?”
“Abisnya
begitu dia denger, nanggepinnya ngaco sih, pake curigain Arvi segala, kan gue
juga nggak suka kalo dia kayak gitu.”
“Kalo
gitu mah elonya yang salah, Dir.”
“Kok lo
jadi ngebelain dia sih?”
“Ya lo
kayak enggak tau Lisa. Dia kan emang gitu. Oke, gue tau gimana perasaan lo
ketika pacar lo dibilang yang negatif-negatif. Tapi mau gimanapun, lo nggak
bisa nyalahin dia. Omongan dia ada benernya juga kan? Buktinya gue liat
sendiri.”
“Jangan
terlalu yakin deh. Siapa tau mereka jalan karena ada urusan.”
“Astaga
Diraaa,” ucapnya gemas. “Lo kesambet apa sih? Bener kata Lisa. Lo emang payah
kayak pacar lo. Udah jelas-jelas gue liat mereka seromantis itu, lo masih bisa
bilang mereka ada urusan penting? Buka mata hati lo Dir. Jangan dibutakan sama
kekecean Arvi. Lo itu kehipnotis, tau nggak?”
Aku hanya diam.
“Gue
ingetin ya, jangan tenggelam di lautan cintanya. Semua itu palsu. Mulai
sekarang, lo mesti bisa ngebedain. Lo mesti waspada. Kalo nggak, ya tanggung
akibatnya.”
***
Mana Arvi? Sekarang sudah pukul dua siang dan tak ada
tanda-tanda kemunculannya di gerbang. Aku sudah menengok kesana-sini. Namun
tetap saja, tak ada sosoknya diantara kendaraan yang terparkir atau
berlalu-lalang.
Kuputuskan untuk menelponnya. Sebelum sempat kutekan tombol call, hapeku bergetar sesaat. Tanda ada
pesan masuk. Kuurungkan niat untuk menelpon. Dan aku membuka pesan itu.
From :
Arvi
Subject : sayang maaf y. aku g bs jmpt.
ada urusan pntg. Love u :*
ada urusan pntg. Love u :*
Ada yang berbeda dalam aliran darahku ketika membaca isi pesan
itu. Bukan marah. Aku takkan marah jika Arvi tiba-tiba berkata bahwa ia tak
bisa menjemputku. Hanya saja, seperti ada sesuatu yang patut dicurigai mengenai
maksud pesan itu. Maksud si pengirim.
Aku sudah berusaha menghilangkan rasa curiga. Dan bukan
keberhasilan yang kudapat. Aku justru merasa semakin tak percaya pada lelaki
itu. Entahlah. Itu hanya persaanku akibat laporan dari Tika, makian Lisa, dan
keanehan pada diri Arvi, atau memang faktanya begitu?
***
Apa mataku tak salah
lihat?
Aku membaur dalam keramaian untuk mengamati dari dekat.
Sepertinya aku mengenal punggung dan gaya rambut itu. Dan wanita di
sampingnya... astaga, itu mereka!
Arvi, dengan kesan sayang merangkul Tasya. Dan wanita manja
yang menyebalkan itu bergelayut nyaman di lengan kokoh itu. Hatiku memanas,
meski aku sudah tahu yang sebenarnya. Kutahan semua perasaan campur aduk dan
emosi yang meledak-ledak itu. Kubuntuti mereka dari jarak yang aman. Dan ketika
mereka mulai memisahkan diri dari kerumunan orang banyak, pemandangan yang ada
membuatku melotot dengan hati dipenuhi rasa tak percaya.
Aku merinding. Melihat bibir mereka saling beradu. Bagai
sulur-sulur anggur yang berpelukan. Segera, sesuatu mengganjal kerongkonganku.
Aku mau muntah.
Lalu dengan perlahan, aku berbalik dan menjauh dari
pemandangan menjijikkan itu. Kucepatkan langkahku menuju warung, atau
angkringan, atau apapun juga yang menjual air mineral.
“Aqua
satu mas,” ujarku pada pemilik warung sembari mengeluarkan selembar duit dua
ribuan dari dompet. Ia mengangguk dan mengambilkan yang kumau. “Makasih.”
Ucapku setelah diberikannya air mineral itu padaku.
Sambil melangkah, pikiranku berputar-putar. Otak masih
memajang pemandangan tadi. Sekali lagi aku merinding. Ini sudah keterlaluan.
Aku harus mengambil tindakan secepatnya, sebelum pedang yang semakin dalam
menusuk dan kabar serta pemandangan yang memuakkan itu terus menjalar ke
seluruh pembuluh darahku.
bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar