Kamis, 10 Januari 2013

AKU atau DIA #3

Cerita Sebelumnya AKU atau Dia #2

                “Tik, menurut lo, apa semua ini ada hubungannya sama yang di bus itu?” tanyaku. Memotong cerita Tika soal Arvi dan Tasya di Pizza Hut Amplaz.
                “Ck,” Tika berdecak. “berarti daritadi lo nggak dengerin cerita gue ya?” dipasangnya tampang kesal.
                “Eh? Enggak, enggak. Gue dengerin kok,” jawabku buru-buru. “justru karena gue dengerin lo, otak gue jalan sampe ke situ.”
Dia mengangkat bahu. “Nggaktau,” jawabnya. “Bisa iya, bisa enggak,”
Aku menghela napas.
                “Kenapa? Lo keliatan takut gitu? Kata Lisa lo udah nggak peduli sama Arvi,” ujarnya santai.
                “Lisa cerita ke lo?” tanyaku.
Tika manggut-manggut. “Iya. Pake emosi segala ceritanya. Lo emang bilang apa ke Lisa? Gue nggak pernah liat dia sepanas itu.”
                “Gue panggang,” candaku.
Tika mencibir. “Gue serius, Dir.”
Aku tertawa. “Nggak gue apa-apain kok. Gue cuman bilang kalo Arvi nggak ngasih kabar empat hari.”
                “Tapi masa kalo lo cuman bilang gitu, Lisa sampe emosi?”
                “Abisnya begitu dia denger, nanggepinnya ngaco sih, pake curigain Arvi segala, kan gue juga nggak suka kalo dia kayak gitu.”
                “Kalo gitu mah elonya yang salah, Dir.”
                “Kok lo jadi ngebelain dia sih?”
                “Ya lo kayak enggak tau Lisa. Dia kan emang gitu. Oke, gue tau gimana perasaan lo ketika pacar lo dibilang yang negatif-negatif. Tapi mau gimanapun, lo nggak bisa nyalahin dia. Omongan dia ada benernya juga kan? Buktinya gue liat sendiri.”
                “Jangan terlalu yakin deh. Siapa tau mereka jalan karena ada urusan.”
                “Astaga Diraaa,” ucapnya gemas. “Lo kesambet apa sih? Bener kata Lisa. Lo emang payah kayak pacar lo. Udah jelas-jelas gue liat mereka seromantis itu, lo masih bisa bilang mereka ada urusan penting? Buka mata hati lo Dir. Jangan dibutakan sama kekecean Arvi. Lo itu kehipnotis, tau nggak?”
Aku hanya diam.
                “Gue ingetin ya, jangan tenggelam di lautan cintanya. Semua itu palsu. Mulai sekarang, lo mesti bisa ngebedain. Lo mesti waspada. Kalo nggak, ya tanggung akibatnya.”

***

Mana Arvi? Sekarang sudah pukul dua siang dan tak ada tanda-tanda kemunculannya di gerbang. Aku sudah menengok kesana-sini. Namun tetap saja, tak ada sosoknya diantara kendaraan yang terparkir atau berlalu-lalang.
Kuputuskan untuk menelponnya. Sebelum sempat kutekan tombol call, hapeku bergetar sesaat. Tanda ada pesan masuk. Kuurungkan niat untuk menelpon. Dan aku membuka pesan itu.

                From          : Arvi
       Subject       : sayang maaf y. aku g bs jmpt.
                       ada urusan pntg. Love u :*

Ada yang berbeda dalam aliran darahku ketika membaca isi pesan itu. Bukan marah. Aku takkan marah jika Arvi tiba-tiba berkata bahwa ia tak bisa menjemputku. Hanya saja, seperti ada sesuatu yang patut dicurigai mengenai maksud pesan itu. Maksud si pengirim.
Aku sudah berusaha menghilangkan rasa curiga. Dan bukan keberhasilan yang kudapat. Aku justru merasa semakin tak percaya pada lelaki itu. Entahlah. Itu hanya persaanku akibat laporan dari Tika, makian Lisa, dan keanehan pada diri Arvi, atau memang faktanya begitu?

***

Apa mataku tak salah lihat?
Aku membaur dalam keramaian untuk mengamati dari dekat. Sepertinya aku mengenal punggung dan gaya rambut itu. Dan wanita di sampingnya... astaga, itu mereka!
Arvi, dengan kesan sayang merangkul Tasya. Dan wanita manja yang menyebalkan itu bergelayut nyaman di lengan kokoh itu. Hatiku memanas, meski aku sudah tahu yang sebenarnya. Kutahan semua perasaan campur aduk dan emosi yang meledak-ledak itu. Kubuntuti mereka dari jarak yang aman. Dan ketika mereka mulai memisahkan diri dari kerumunan orang banyak, pemandangan yang ada membuatku melotot dengan hati dipenuhi rasa tak percaya.
Aku merinding. Melihat bibir mereka saling beradu. Bagai sulur-sulur anggur yang berpelukan. Segera, sesuatu mengganjal kerongkonganku. Aku mau muntah.
Lalu dengan perlahan, aku berbalik dan menjauh dari pemandangan menjijikkan itu. Kucepatkan langkahku menuju warung, atau angkringan, atau apapun juga yang menjual air mineral.
                “Aqua satu mas,” ujarku pada pemilik warung sembari mengeluarkan selembar duit dua ribuan dari dompet. Ia mengangguk dan mengambilkan yang kumau. “Makasih.” Ucapku setelah diberikannya air mineral itu padaku.
Sambil melangkah, pikiranku berputar-putar. Otak masih memajang pemandangan tadi. Sekali lagi aku merinding. Ini sudah keterlaluan. Aku harus mengambil tindakan secepatnya, sebelum pedang yang semakin dalam menusuk dan kabar serta pemandangan yang memuakkan itu terus menjalar ke seluruh pembuluh darahku.

bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar