Senin, 05 Oktober 2015

Kita, abadi. Bisa?

Sejauh apapun kaki pelangkah pergi, hanya rumahlah tempat kembali.

“Nanti jadi, kan?” tanyamu harap-harap cemas di ujung telepon. Aku merasa harus tertawa sebelum menjawabnya.
“Jadi. Jangan khawatir.”
“Aku takut kamu tiba-tiba punya keinginan untuk membatalkan.”
“Hahaha,” lagi, aku harus tertawa dan kali ini lebih keras. “Aku tidak sejahat itu. Sebegitunyakah kamu takut?”
Kamu menggeleng. Aku tahu.
“Baiklah, sampai jumpa nanti.” Senyumku mengembang. Aku tidak yakin apakah kamu perlu tahu betapa bahagianya aku.

Kuakui, ini konyol. Aku bahkan tak mampu mempercayai diriku sendiri tentang hal ini. Bagaimana mungkin selama tiga tahun aku mengenalmu, kita belum pernah menghabiskan waktu dengan menonton bersama? Dan sekarang aku sebahagia ini. Andai kamu tiba-tiba muncul dari lubang speaker telepon lalu berdiri tepat di depanku, kupastikan aku telah menghambur untuk memelukmu erat, mungkin tak kulepaskan sampai aku sadar kita telah sama-sama kehabisan napas.

Sungguh, aku sebahagia itu.

Waktu kini mulai tarik ulur denganku. Aku paham benar ia relatif. Selalu mampu memanjang dan memendek, menjadi begitu lama atau terlalu singkat sesuai dengan keadaan. Ia hanya tak mampu kembali, mengulang apa yang telah dilalui. Dan dalam situasi macam ini ia akan memanjang seolah aku masih perlu menunggu lama untuk bisa melihatmu secara nyata.

***

Kakiku sudah berdiri di atas karpet sepanjang ruang ini. Hati sudah meloncat-loncat sejak tadi. Aku tahu seluruh sel tubuhku tak sabar menunggu saat kamu tiba dan bayangmu tertangkap mata.

Dan disanalah kamu. Berjalan mantap menapaki aspal menuju gedung ini. Kacamata cokelat. Kemeja putih kotak-kotak rapi. Celana jeans cokelat. Rambut klimis rapi. Dan tatapan itu. Mata itu. Tak mampu lebih lama aku menatap. Teriakan ini bersarang dan mencekik kerongkongan. Tak menyangka melihatmu dengan gaya seperti itu. Aku seketika membayangkan adegan slow-motion seperti film-film Hollywood, dan bagaimana segala efek itu membuatmu seperti malaikat. Malaikat Hujanku, satu-satunya.

Kamu benar-benar setampan itu. Gila, aku bahkan baru tahu.

Kamu mendekat, aroma parfum menyeruak. Dingin ruang ini seolah tak terasa, dan bodohnya, aku merasa hidup tinggal sejenak hingga aku perlu memelukmu sampai napas terakhir. Astaga, kamu memang penghipnotis handal.
“Ini,” katamu lirih sambil memberikan selembar uang limapuluh ribu.
Tatapanmu sepertinya membuat uang itu bertransformasi jadi tiket masuk bioskop. Sempurna!
Kutarik tanganmu, tak sabar ingin segera masuk ruang dan mewujudkan semua ini. Mimpiku bakal jadi nyata! Astaga, padahal aku cuma ingin bisa menonton film bersamamu.

***

“Filmnya sudah mulai, entah berapa menit. Dan kamu masih tak tenang?” tanyaku, mulai risih dengan gerakan-gerakan kecilnya. Seperti seorang bocah terjebak dalam ketidaknyamanan. Aku tak mau bocah kesayanganku mengalaminya, itu menganggu.
“Ya. Bisa kamu antar aku ke toilet?”
Hah? Aku?
“Astaga, kamu tidak berani ke toilet sendirian?” aku nyaris tertawa.
“Sudah, ayo,” dia menarik tanganku, dan mau tak mau aku mengikutinya.

Jalannya cepat sekali. Aku tak tahu apa itu karena dia menahan ingin ke toilet atau ada sesuatu yang lain. Aku cuma bisa diam menunduk dan ikut jalan cepat, karena aku tahu, bioskop bukan tempat yang tepat untuk menanyakan ‘kamu kenapa, sih?’. Aku sudah merasa cukup konyol jadi tak perlu kulakukan itu atau aku bakal dipecat dan dicoret dengan spidol permanen dari daftar manusia yang dikenalnya. Hahaha.

Tirai pembatas antara ruang film dan jalan keluar tersibak. Dia sudah ada di balik tirai itu. Sebenarnya aku balik arah sejenak untuk memastikan tirai itu sudah tertutup sempurna, atau bakal ada mata yang tertanggu akibat cahaya di balik tirai menyeruak masuk ke ruang film.

Lalu aku kembali menghadap dia.

Sesuatu yang dingin dan lembab tiba-tiba menempel di jidatku sebelum kesadaranku pulih untuk tahu apa yang terjadi.

“Aku rindu kamu. Aku rindu pulang ke rumah buat hatiku. Bisakah kita tetap baik-baik seperti ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar