Selamat malam.
Mungkin kamu sedang mengaji
ketika aku berhadapan dengan monitor dan menghabiskan waktu untuk menulis ini.
Atau kamu sedang belajar. Atau sibuk membersihkan pondok. Atau mungkin
memikirkan bagaimana menyusun program kerja yang demikian baik dengan banyak
ide baru agar manusia-manusia lain di sekolah mampu menerima, menikmati, bahkan
mengapresiasi hasil usahamu, juga timmu, tentunya.
Andai kamu tahu, aku masih belum
mampu keluar dari lautan bahagia ini. Bibirku sesekali masih tersenyum ketika
otak memutar kejadian siang tadi. Lagi dan lagi. Astaga, aku baru sadar
sekarang betapa konyolnya tingkahku tadi. Kalau aku jadi kamu dan kamu jadi
aku, adakah bisa kamu memposisikan dan menguasai diri dengan baik? Ajari aku
jika jawabmu adalah ya. Karena aku masih tenggelam terlalu dalam dan terbang
terlalu tinggi. Semisal pesonamu adalah matahari, niscaya aku terbakar hangus
jadi abu lalu menyebar tertiup angin kala berhadapan terlalu dekat dengan kamu.
Sungguh, kamu tadi sedekat itu. Jadi bagaimana bisa aku tidak lebih dari
sekadar senang?
Sempat ada bersitan rasa malu
ketika kita berhadapan dan kamu tahu
tingkahku jadi serbasalah. Tapi benar-benar aku tak mampu. Masih suatu
keuntungan aku tak berteriak histeris lalu menghambur memelukmu. Oh, jangan
sampai. Dengan segenap kekuatan dan akal sehatku, kupastikan itu takkan terjadi
karena aku tahu, kita berbeda. Kita cuma bisa saling tatap, hatiku mungkin
ingin melekat, tapi kita terbatas sekat. Dogma agama.
Lalu apa sekarang?
Mungkin cuma aku yang tiap malam
memikirkan hal ini. Kadang aku merasa bersalah sehingga ingin mundur teratur
sampai akhirnya menghilang dari hidupmu (andai kamu menganggapku). Kadang aku
ingin berjuang, menyamai sesuatu yang tak mungkin disatukan. Tuhan memang satu.
Kita yang tak sama. Tahukah kamu betapa menusuk kalimat itu?
Tadinya aku menulis ini dan
berharap aku dapat mengakhirinya dengan bahagia pula. Tapi tidak, ternyata.
Perbedaan kita merenggut senyum dan tawaku. Otakku mulai mendingin, semoga tak
membeku.
Hei, aku benar-benar suka.
Mungkin ada baiknya kamu berhenti
punya pesona agar aku tak perlu repot-repot mengendalikan diri, rasa dan hati.
Salam dari kelancangan untuk
mengagumi kamu.
sukiak.. :D
BalasHapus