Rabu, 04 November 2015

Sampai kusadari kita berbeda

Selamat malam.

Mungkin kamu sedang mengaji ketika aku berhadapan dengan monitor dan menghabiskan waktu untuk menulis ini. Atau kamu sedang belajar. Atau sibuk membersihkan pondok. Atau mungkin memikirkan bagaimana menyusun program kerja yang demikian baik dengan banyak ide baru agar manusia-manusia lain di sekolah mampu menerima, menikmati, bahkan mengapresiasi hasil usahamu, juga timmu, tentunya.

Andai kamu tahu, aku masih belum mampu keluar dari lautan bahagia ini. Bibirku sesekali masih tersenyum ketika otak memutar kejadian siang tadi. Lagi dan lagi. Astaga, aku baru sadar sekarang betapa konyolnya tingkahku tadi. Kalau aku jadi kamu dan kamu jadi aku, adakah bisa kamu memposisikan dan menguasai diri dengan baik? Ajari aku jika jawabmu adalah ya. Karena aku masih tenggelam terlalu dalam dan terbang terlalu tinggi. Semisal pesonamu adalah matahari, niscaya aku terbakar hangus jadi abu lalu menyebar tertiup angin kala berhadapan terlalu dekat dengan kamu. Sungguh, kamu tadi sedekat itu. Jadi bagaimana bisa aku tidak lebih dari sekadar senang?

Sempat ada bersitan rasa malu ketika  kita berhadapan dan kamu tahu tingkahku jadi serbasalah. Tapi benar-benar aku tak mampu. Masih suatu keuntungan aku tak berteriak histeris lalu menghambur memelukmu. Oh, jangan sampai. Dengan segenap kekuatan dan akal sehatku, kupastikan itu takkan terjadi karena aku tahu, kita berbeda. Kita cuma bisa saling tatap, hatiku mungkin ingin melekat, tapi kita terbatas sekat. Dogma agama.

Lalu apa sekarang?

Mungkin cuma aku yang tiap malam memikirkan hal ini. Kadang aku merasa bersalah sehingga ingin mundur teratur sampai akhirnya menghilang dari hidupmu (andai kamu menganggapku). Kadang aku ingin berjuang, menyamai sesuatu yang tak mungkin disatukan. Tuhan memang satu. Kita yang tak sama. Tahukah kamu betapa menusuk kalimat itu?

Tadinya aku menulis ini dan berharap aku dapat mengakhirinya dengan bahagia pula. Tapi tidak, ternyata. Perbedaan kita merenggut senyum dan tawaku. Otakku mulai mendingin, semoga tak membeku.

Hei, aku benar-benar suka.

Mungkin ada baiknya kamu berhenti punya pesona agar aku tak perlu repot-repot mengendalikan diri, rasa dan hati.


Salam dari kelancangan untuk mengagumi kamu.

1 komentar: