Sabtu, 09 Maret 2013

Kedatanganmu Membuatku Buta



Kelas Klinis Materi UN 9.5, Sabtu, 9 Maret 2013

Akhirnya waktu itu tiba juga. Bel berdering nyaring, dan satu demi satu siswa memasuki kelas baru mereka. Begitu pula denganku. Pikiranku berkecamuk seiring dengan langkah gontaiku. Kamu, ah, dalam hitungan menit aku akan melihat kelebatanmu di kelasku. Sedikitnya penghuni di setiap kelas akan membuat masing-masing pribadi tersorot. Dan sosokmu tak akan luput dari semua itu. Dari 190 siswa saja kamu terkenal, masuk dalam peringkat manusia kece di sekolah. Tak bosan-bosannya berpasang-pasang mata menyorotimu. Apalagi di kelas ini, yang penghuninya tidak ada 15 anak.

Hening sedikit mendominasi keadaan di menit-menit awal. Pandangan aneh, bingung, tak kenal mewarnai wajah-wajah yang ada. Kecuali kita, dan satu orang temanku. Aku suntuk. Rasa itu makin bertambah ketika guru pembimbing kita memasuki kelas. Guru Bahasa Jawa! Yang itu! Astaga (-_-)

Sontak, lirihan-lirihan protes terdengar. Temanku itu langsung mencari kawan untuk teman duduk satu meja. Dan dia pun pindah ke meja sebelah kirinya.

Bagus. Sekarang aku sendiri di lajur kedua dari kiri. Kulemparkan pandangan ke luar. Berusaha tak peduli dengan semua perasaan tak enak yang menguasai. Lalu, telingaku mendengar suara orang berdiri dan langkahnya menuju ke kursi sebelahku, masih satu meja denganku. Hatiku sudah mengatakan lebih dahulu siapa orang itu. Hanya saja, aku tak mau percaya. Jadilah kutolehkan kepalaku.

Kamu.

Terlihat begitu jelas tanpa bantuan kacamataku. Sedang duduk tepat di sebelahku sambil menebar senyum (sok) mempesona. Memperlihatkan barisan gigi putihmu yang kini dipagari selilit kawat perak. Baiklah, untuk kali ini, aku benar-benar tak siap.

Kau menyapa, dan rasanya sulit sekali untuk tidak membalas sapaanmu dengan baik. Lalu tanpa basa-basi kamu mengucapkan selamat akan keberhasilan timku meraih juara I Lomba Mading di SMA N 1. (Itu sudah lama berlalu sayang. Tapi terimakasih untuk ucapanmu.) *silahkan diabaikan* 

Aku sempat kaget, kukira kamu tak akan memperhatikan hal sekecil dan sesepele itu.
Oke, selanjutnya kita ngobrol seperti biasa. Bercanda seperti biasa. Tertawa bersama seperti biasa. Dan aku juga terhipnotis seperti biasa. Entahlah, rasanya ada lapisan yang menutupi mata hatiku. Aku menjadi buta kembali ketika kamu ada di dekatku. Aku terpesona lagi. Tenggelam lagi dalam jeratanmu yang memabukkan itu.

Jeratan? Entahlah. Selalu saja aku tak mampu memakimu dalam jarak sedekat ini. Aku juga tidak paham. Sulit sekali untuk bertanya apa maumu menarik ulur, memberi harapan palsu, dan sederet itu. Kalimat-kalimat yang minta keadilan serasa terhenti di kerongkongan. Terjepit keraguan yang tak bisa dikendalikan.
Aku bahkan tak mampu melihat sisi burukmu barang sedikitpun. Semuanya terbalut sempurna dengan segala kekeceanmu yang belum kutemukan pada sosok lain.

Aku sungguh tidak paham, Arjuna. Dan mungkin tidak akan paham. Hanya seretan-seretan langkahku tak pernah bebas dari sebuah tanya. Pada akhir kisah, aku selalu dililit kekuatan sebuah keingintahuan tanpa jawaban.

Masihkah aku menyayangimu seperti dulu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar