Tak
akan ada lelaki seperti dia, aku bersumpah.
Aku
tak akan memohon-mohon lagi layaknya anak kecil yang merengek minta mainan.
Tidak lagi. aku sudah kehabisan waktu dan tenaga untuk benar-benar
melakukannya. Kesabaranku sudah habis mengatakannya. Aku lelah. Dan aku tak
mengutamakan kelembutan agar isyarat pesan itu dapat tersampaikan. Sudah cukup
halus kukirim tanda-tanda itu, dan kalian tetap tak mengerti. Akan ada saatnya
garis dan hentakan yang lebih tegas itu berjalan di depan, supaya jelas. Supaya
mereka yang melihatnya―termasuk kalian―bisa lebih peka. Aku berani
mengatakannya terus terang karena kuyakin, peka bukanlah suatu sikap yang
terlampau sulit untuk dimiliki. Jangan kaget kalau aku jadi begini. Aku bosan
harus terus-menerus halus lembut seperti bulu boneka. Aku mulai malas harus
membatasi sikap dengan ratusan aturan.
Sudah
kubilang, hanya lelaki itu, satu-satunya manusia diluar keluarga yang mau
benar-benar meluangkan waktu juga tenaga untukku. Tak perlu lagi kusampaikan
secara kronologis hingga keputusan ini resmi tertera di hati.
Dia
memang jauh dari sempurna. Semua manusia juga begitu. Entah bagaimana ia
tercipta, entah bagaimana masa kecilnya, entah bagaimana hari-harinya,
keluarganya , sekolahnya, lingkungan tempat tinggalnya. Seterjamin apapun,
berkualitas setinggi apapun yang ia miliki juga alami, ia tetaplah manusia.
Makhluk dunia yang (katanya) paling baik dan (katanya) berakhlak mulia namun
tak akan bisa mencapai sempurna. Ia jelas punya setumpuk sisi baik dan buruk.
Mungkin ketika Waktu mengijinkan pertemuan itu terjadi, sisi buruk adalah
pemimpin barisan sikap. Tapi segalanya mulai berubah tatkala pertemuan itu
berlanjut, melewati angka satu.
Tolong
jangan hanya keburukannya yang ada di otak kalian. Ia bukan mesin perusak. Ia bukan
robot penghancur.
Kuakui
aku belum dewasa. Tapi bukan berarti segala keputusan yang berkaitan dengan
diriku, dengan masa depanku, dengan bahagiaku, harus ditentukan oleh kalian.
Maaf, bukannya tidak menghargai. Aku hanya ingin diperhitungkan. Hubungan ini
aku yang menjalani. Aku yang merasakan suka duka, tangis tawa, pedih perih,
juga bahagia. Jika menatap dan menilai dari kejauhan adalah dasar kalian tidak
mengiyakan, aku tidak terima. Ini tidak adil.
Cinta
itu hak setiap makhluk. Tumbuhan, hewan, juga manusia ada, atas nama cinta.
Atas nama cinta Tuhan mencipta. Tidak peduli makhluk buas, ganas, beringas,
atau sebaliknya, semua berhak dicinta dan mencinta. Adakah matahari hanya
memberikan sinarnya untuk mereka yang baik? Adakah angin dan udara berhembus
hanya untuk mereka yang beragama? Adakah air hanya boleh digunakan oleh makhluk
dengan syarat tertentu?
Maka
jangan mengatasnamakan sisi buruknya agar kalian bisa sesuka hati tidak
merestui. Hidup itu pilihan, bukan?
Aku
memilih dia.
Itu
keputusanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar