Rabu, 28 November 2012

Boleh Kita Kenalan?


Aku sering memperhatikannya dari kejauhan. Ketika dia sedang ngobrol dengan guru atau bersenda gurau dengan teman-temannya. Entahlah, aku hanya suka melakukannya. Aku suka mengamatinya. Menelisik lekuk wajahnya, memperhatikan corak batiknya, atau mencermati bahasa bibirnya.

Posturnya tinggi besar. Bahunya lebar dan tampak kokoh. Kulitnya gelap, hidungnya mancung, bibirnya cokelat kemerahan selalu terlihat basah dan ranum, membuatku ingin menggigitnya.
Dia punya sepasang mata bulat dengan selapit pelangi cokelat kebiruan yang cantik dan indah. Aku suka sekali dengan matanya. Tatapannya tajam, dingin, tapi menarik. Jarang orang punya tatapan seperti itu.

Pernah suatu kali aku dipergoki Brial, temannya. Saat itu aku berdiri di dekat pilar koridor dan memperhatikan dia yang tampak serius dengan bola basketnya. Saking asiknya, bibirku nyaris mencium pilar itu.

Aku begitu terhipnotis oleh aksinya sampai sebuah suara menggetarkan daun telingaku lalu organ-organ selanjutnya.

                “Ehem, mantengin siapa Ta?” Briel tiba-tiba disebelahku.

Aku gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Karena di lapangan hanya ada dia dan Rio. Masa aku bilang sedang memperhatikan Rio? Tak mungkinlah. Karena, maaf ya, tampang Rio itu di bawah rata-rata. Alisnya hitam dan tebal, wajahnya segituga terbalik, kulitnya putih, bibirnya tebal seperti orang negro, pesek pula.
Tapi kalau aku jawab dia, astaga, bisa gaswat!

                “Hei, Atalanta? Jawab dong,” desak Briel.

                “Hah? Aku? Aku...ohh...”

                “Dastan ya?” Briel menatapku lekat-lekat. Aku hanya menunduk.

                “Hahaha...” tawa Briel pecah. Dia cekikikan. “Ta, Ta, ngaku aja. Santai kalo sama aku. Dastan kece kok. Enggak salah kamu naksir dia,” ujarnya.

Sok tau amat. Seolah raut wajahku berkata begitu. Namun hati ini jingkrak-jingkrak entah di atas genting, kabel listrik, atau malah selokan.

                “El, plis ya, biasa aja,” aku  berusaha melontarkan nada sinis. Briel meneruskan tawanya.

                “Tapi iya, kan?”

Tersentak. Diam.

                “Atalanta? Ciyus deh,”

Bimbang. Masih diam.

                “Kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Diam. Kutatap bola matanya. Ada guratan meyakinkan yang kutangkap. Aku mengangguk pelan.

                “Nah!” teriaknya. “Das...!”

                “Sssttt!!” aku berusaha membungkam mulutnya. Tapi aku terlambat satu detik. Tangannya sudah mengunci tanganku.

Sial! Makiku dalam hati.

Untungnya, Briel tak menyelesaikan ucapannya. Dan lelaki itu juga tak mendengar teriakan Briel.
                “Haha, enggak enggak Ta, kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Aku mencibir.

                “Cungguh?” tanyaku.

                “Iya, janji deh,”  dia memberikan jari kelingkingnya. Aku menatapnya datar.

                “Oke, aku percaya, di jaga lho,” ujarku mengaitkan kelingkingku.

                “Beres,” dia tersenyum. “Selamat menikmati kekeceannya,” ditepuknya pundakku, dan berlalu.

@@@

Kali ini dia membalas tatapanku. Mata cokelat kebiruan itu menelisik gunung dan lembah yang tertata di wajahku. Dagu, bibir, hidung, akhirnya mata kami bertemu. Aku langsung salah tingkah.malu sekali ketahuan sedang mengamatinya. Dia menembakkan pandangannya padaku selama beberapa detik sampai sesosok lelaki dengan kisaran umur 50-an mendekatinya. Pak Mulyadi, guru fisika.

Ini aneh. Dia baru menatapku hari ini, tepat 2 hari setelah Briel tahu aku sering memperhatikannya. Apa jangan-jangan Briel laporan ke dia? Oh mak!

                “Ta, kamu ngapain?” otakku menerjemahkan laporan dari telinga. Itu suara Judith. Aku tak sadar kalau saat itu aku sedang membentur-benturkan kepalaku ke tembok seperti orang yang di-PHK.
Eh?

                “Ha? Oh enggak,” aku gelagapan. Guoblokkk! Aku mengutuki diri sendiri. Dibelakang Judith ada Nayla dan Vanessa yang menatapku bingung. Juga ada berpasang-pasang mata lain yang lewat sambil memperhatikanku dengan geli.
Astaga, ini konyol sekali.

@@@

Aku tak dapat duduk tenang di kursiku. Rumus-rumus trigonometri di papan tulis tak dapat menarik perhatianku. Aku merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasiku. Di sekitar sini! Tapi aku belum menemukannya.

Kutengok kanan-kiri dengan gelisah. Judith, Nayla, Vanessa, dan yang lain tampak sibuk merekam rumus dengan mata dan memerintahkan tangan untuk menuangnya di buku catatan. Kulirik Viola, teman semejaku yang juga sibuk dengan pikiran dan catatannya. Aku memaksa diriku melakukan seperti apa yang teman-teman lakukan. Aku tak mampu. Kegelisahan masih menguasaiku.

Aku menengok ke kanan, mengamati setiap obyek yang bisa kutangkap. Yah, siapa tahu yang mengamatiku adalah sepasang mata kucing, cicak, tikus, kecoa, atau malah semut-semut merah.
Pandanganku sampai pada arah jam 4. Dan setelah obyek ketiga mataku menangkap sesosok tubuh dengan style yang kukenal duduk di tangga aula, pinggir lapangan. 
Lelaki itu.

Tubuhnya dibalut kaos olahraga, putih dengan ornamen biru tua dan kuning. Kakinya yang telanjang terlihat kotor, rambutnya basah oleh keringat. Dan matanya, matanya menatapku. Atau kalau aku terlalu PD, ya matanya menatap kelas ini. Pokoknya daerah sini!

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu dan mataku masih terkunci pada sosoknya. Dia juga masih menatapku, ehm, maksudku daerah sini. Lalu dia menyunggingkan senyum dan mengangguk. Aku kaget. Kutengok kiri. Aku hanya melihat teman-teman yang masih serius dengan buku masing-masing. Tak ada yang menatap keluar jendela, arah jam 4 kecuali aku.

Aku kembali menatapnya. Dia tersenyum simpul, menaikkan dagu, membawa sepatunya, lalu berdiri.

Aku menunduk.

Apa maksudnya menyapaku?

@@@

                “Ba!” sebuah suara mengagetkanku. Aku tersentak. Ternyata Briel.

                “Apa sih?” ujarku sedikit mangkel. Dia terbahak.

                “Gimana Dastan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

                “Ada kemajuan,” jawabku singkat.

                “Oh ya?”

Aku mengangguk.

                “Bagus dong,” Briel tersenyum. “Kemajuan gimana?”

                “Entahlah, ini aku yang berlebihan atau memang fakta,” kulihat Briel mengangkat sebelah alisnya. “Kemaren dia menyapaku,” lanjutku.

Briel manggut-manggut.

                “Kau laporan ke dia ya?” tuduhku. Mata Briel melotot besar sekali.

                “Enggak! Aku udah janji enggak bilang sama siapa-siapa kan?”

                “Iya sih,”

                “Nah, yaudah,”

                “Terus, kenapa dia kemaren..,”

                “Entah,” potong Briel. “Pokoknya aku nggak bilang apapun ke dia soal kamu,”

Aku mengangkat bahu.

                “Aku ke kelas ya, daah,” ditepuknya pundakku.

Aku mengangguk. Kuambil camilan lalu membayarnya. Ketika kubalikkan badan, lelaki itu ada di belakangku. Mata kami beradu. Dia tersenyum, mengangguk.

@@@

Ini mengesalkan. Beberapa kali mata kami bertemu, dia hanya tersenyum dan menangguk. Itu saja. Lama-lama aku bosan. Tak ada pembicaraan yang dia buka. Aku tak lagi sering memperhatikannya seperti dulu. Malas. Apa gunanya mantengin sementara yang dipantengin hanya tersenyum dan mengangguk begitu?
Aku pilih menjauh. Marah, mangkel, bosan, memenuhi benakku setiap mengingatnya. Aku tidak benci. Tapi juga tak suka dibegitukan terus.

Ayolah Dastan, bicaralah!

@@@

Itu dia. Sedang duduk di kursi depan kelasnya. Arrgh!! Dia lagi, dia lagi. Bosan rasanya. Paling juga cuma tersenyum, mengangguk, dan berlalu.

Aku sempat menatapnya beberapa detik. Setelah itu kuarahkan pandanganku ke sisi lain. Tapi entah mengapa, aku tak bisa bertahan pada sisi lain itu. Mataku tergoda untuk menatapnya.

Akhirnya aku menuruti kata hatiku. Kulihat dia berjalan ke arahku. Dekat, dekat, semakin dekat. Aku melongo. Apa mataku tak salah?

                “Hai, cantik,” senyumnya. Jantungku berdebar. “Aku Dastan, boleh kita kenalan?”

Jumat, 23 November 2012

Cinta dan Airmata


                “Leon sudah otw belum?” ujar Fara menyentuh bahuku.

Aku menggeleng.

                “Ha? Dia tak jemput kau? Atau belum otw?” nada bicara Fara terdengar menyelidik.

Aku menggeleng lagi.

                “Aku pulang ngebis.” Jawabku tanpa menatap Fara. Kakiku terus menapaki aspal. Peluhku berjatuhan. Siang ini matahari terlalu bersemangat.

                “Loh,” Fara berhenti. Segera saja ia tertinggal oleh langkahku. “Tapi Ra,” katanya berusaha menjajariku lagi. “Ratu!” teriaknya. Ia tampak kesal karena kakiku berjalan terlalu cepat.

Aku menghela napas.

                “Apa?” tanyaku berhenti sejenak tanpa menengok ke arahnya.

                “Jalanmu cepat sekali,”kata Fara. Kulihat rambut keritingnya mulai lengket oleh keringat.

                “Lalu kenapa?” tanyaku melanjutkan langkah.

Mulut Fara berdecak.

                “Ratu!” teriaknya lagi. “Kau belum dengar pertanyaanku!”

Aku mengeluh. Kuhentikan langkah. Aku berbalik 180 derajat. Menghadap Fara.

                “Apa? Kau mau Tanya apa, hah?” aku mulai kesal. Fara meringis lalu berlari mendekat.

                “Nah, kalau kau diam dan dengar begini kan enak,” katanya. Dengan ekspresi merayu.
Bola mataku berputar-putar.

                “Oke, oke,” Fara seolah mengerti arti gerakan bola mataku itu. “Kok kau pulang ngebis? Kenapa tak suruh Leon menjemputmu seperti biasa? Ini kan hari Kamis, dia pasti sudah pulang jam satu tadi.”

Aku menghela napas. Menahan sakit dalam hati karena telingaku harus mendengar pertanyaan semacam itu.

                “Aku sudah putus.” Jawabku.


***

                Tunggu, tunggu. Sepertinya aku mengenal punggung itu. Oh, sial! Makiku dalam hati. Itu Leon! Leon!
Segera saja aku membalikkan badan dan menjauh.

Terlambat.

Ada orang yang membuntutiku. Ada orang yang berusaha menjajariku. Langkahnya lebih cepat dariku. Seperti berlari. Oh, tidak, tidak. Bukan berlari. Mungkin... berderap. Ya, berderap. Itu lebih tepat. Langkah yang seperti itu dengan sangat mudah dapat mengejar gerakan kakiku.

                “Ratu,” sebuah suara terkumpul di gendang telingaku.

Aku mengeluh. Berusaha meyakinkan hati kalau itu bukan suara Leon. Mustahil rasanya.
Kurasa tak akan ada orang yang dapat memanggilku dengan nada yang tegas dan manis selain Leon. Hatiku sangat yakin tentang itu.

Aku bersikap seolah tak mendengar. Kucepatkan langkahku.

                “Ratu!” kali ini panggilannya lebih tegas. Namun kesan manis itu tak menghilang.
Aku tetap tak mengubris. Tiga detik kemudian, tanganku tetahan. Langkahku terhenti. Gantian jantungku yang berlari. Dengan sangat terpaksa, aku menengok pada pemilik tangan itu.

                Deg.

Napasku tercekat.

                “Ratu,” Leon menghela napas. Sorot matanya terlihat lelah.

Aku menatapnya takut-takut.

                “Ratu, a‒apa apa kau serius soal keputusanmu?” tanyanya terbata-bata.

Aku terdiam. Sulit sekali rasanya menjawab. Otakku mendadak buntu. Lidahku kelu.

                “Hei,” tangan Leon menyentuh daguku.

Aku masih diam.

                “Ayolah,” Nada suaranya terdengar memohon. “Lihat aku,” matanya mencari-cari tatapanku. Untuk kali ini aku menurut.
Aku menatapnya.

                “Nah, sekarang jawab aku,”

Aku ragu. Kulihat Leon tersenyum meski itu terkesan dipaksakan. Matanya sedih. Seolah berharap aku tak benar-benar memutuskannya. Aku menghela napas panjang.

                “Iya,” jawabku lirih.

Leon tampak tak percaya. Raut wajahnya mendadak terlihat pasrah. Mulutnya bergumam tak jelas.
Aku menunduk.

Maafkan aku Leon, maafkan aku. Aku terpaksa tentang keputusan itu. Kalu ditanya, aku tak ingin ada perpisahan dia antara kita.
Namun apa boleh buat?
Aku tak ingin menjeratmu dalam keegoisanku. Aku ingin kau bahagia, sebahagia aku yang sempat memilikimu setahun ini.
Kau.
Matamu.
Bibirmu.
Semua, tentangmu.

                “Oke,” kata Leon akhirnya. Ia mengangguk mengerti. “Itu keputusanmu. Aku menghargainya.” Ia melepas tanganku, lalu berbalik meninggalkanku.

Aku terisak. Menatap sosoknya yang menjauh. Kukejar dia. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Kusandarkan kepalaku di punggungnya. Airmataku jatuh entah berapa tetes.
Langkahnya terhenti seketika.

                “Aku sayang kamu,” bisikku terbata-bata diantara lelehan airmata.

Tangan Leon melepas pelukanku. Ia berbalik. Dihadapannya aku menangis seperti seorang anak kecil yang mainannya rusak.
Kurasakan tangannya melingkar di leherku. Aku dipeluknya erat. Sangat erat.

                “Aku tahu,” katanya. “aku juga menyayangimu,” dia mengambil jeda. “dan keputusanmu,” lirihnya.

Aku menggigit bibir bawahku. Masih menangis.

Itu adalah pelukan terakhirnya.


***

                “Ra, apa kau sudah putus?”

                “Ra, kau putus dengan Leon?”

                “Ra, kok kau tak cerita?”

                “Ra, kau benar putus?”

                “Ra, kau‒”

Aku terus berjalan tanpa peduli dengan deretan pertanyaan yang menghujaniku. Suara mereka, keingintahuan mereka, rasanya terdengar wung-wung-wung seperti lebah, tanpa arti dan kejelasan.
Aku terduduk di kursi depan kelas. Menghela napas panjang. Seolah mengeluh tentang jalan hidupku. Mataku menangkap sosok-sosok yang berseliweran. Semua bagiku hanya iklan. Sekedar lewat, tanpa kesan menarik untuk terus dilihat.

Sampai akhirnya. Sepasang kekasih iktu tertangkap mataku.

Mereka. Mereka. Aku memperhatikannya.
Begitu bahagianya. Begitu indahnya. Bahkan ranting dan dedaunan yang tertiup angin serasa ikut menggores tawa.

Melihatnya, melihat mereka, aku seperti tercekik dalam kesengsaraan yang luar biasa. Aku tersenyum di antara kepedihan, bak berjalan di atas pecahan kaca.

Aku. Jiwaku.
Aku. Ragaku.
Aku. Hatiku.
Aku. Cintaku.

Terbelenggu dalam kesesakan dan kesendirian yang bercampur jadi satu.

Airmata.

Sabtu, 17 November 2012

Sang Arjuna


Terimakasih kepada Pak Chinda,
guru Bahasa Jawa
yang telah memberi saya inspirasi
untuk penulisan cerita ini
J


Aku sedang di kantin bersama Nita dan Dera ketika sosok itu datang. Ya, dia yang masih menjadi teka-teki untukku bahkan sampai detik ini. Aku menyayanginya. Dan kalau boleh jujur, sayangku itu bisa diartikan ‘cinta’. Konyol memang. Karena dia selama ini tak pernah benar-benar serius soal perasaannya. Aku saja yang kelewatan. Tapi, inilah faktanya. Tak bisa kupungkiri.

Aku tetap diam sembari menelisik lekuk-lekuk wajahnya yang tampan itu. Dia menatapku dengan misterius, tak tertebak. Lalu mulai mendekat.

                “Bum!” tangannya memegang lenganku.

                “Eh, ini ngapain sih?” kataku kaget. Dia tersenyum simpul.

                “Pacaran!” teriaknya. Aku tersentak. Dalam hati senang sekali. Dia sudah berani mengakui rasanya untukku. Yah, siapa tahu, tak lama lagi aku benar-benar jadi pacarnya. Nita dan Dera yang sedang membawa masing-masing semangkuk soto melirik ke arah Arjuna.

                “Aku denger lho Jun,” ucap Nita nakal.

                “Ha? Emang aku tadi ngomong apa sih?” Arjuna berlagak tak tahu. Tangannya memegang erat tanganku. “Aku tadi ngomong apa?” tanyanya sok.

                “Nggak tau, emang ada yang ngomong tadi?” aku ikut bersandiwara. Lalu kami berempat tertawa. Nita dan Dera melewatiku dan Arjuna sambil geleng-geleng kepala.

Setelah dua orang tadi bergabung dengan Agata dan Sari, tangan Arjuna mulai mengambil camilan, membayarnya lalu berjalan ke arah kolam. Aku mengikutinya.

                “Udah putus po?” ujarnya duduk di tepi kolam sambil memasukkan camilan ke mulut.

                “Udah,” kataku ikut duduk. “Tapi pake dimarahin segala,”

                “Ya bagus dong!” teriaknya. Nada suaranya terdengar jahat. Dan bodohnya, aku tak benar-benar menyadari itu. Dia tersenyum, seolah matanya mengandung arti, ‘bagus, kena kau!’. Aku mendelik.

                “Kok bagus sih?” protesku. Dia tertawa.

                “Haha, maksudnya bagus, berarti besok-besok kamu nggak dimarahin lagi,”

                “Ohh...”

Dia berdiri. “Nggak makan po?” katanya padaku ketika melihat Nita, Dera, Agata, dan Sari serius dengan makanan mereka masing-masing.

                “Enggak,” jawabku singkat.

                “Nggak laper po?”

Aku hanya tersenyum.

                “Dia kan sukanya makan cabe Jun,” celetuk Nita. Dera, Agata, dan Sari terbahak.

Arjuna membalikkan badan lalu mengambil sebuah cabai dan mendekatkannya ke mulutku. Aku tertawa.

                “Sial, diambilin beneran,” kataku menepis tangannya.

Dia ikut tertawa. Membuang cabai itu lalu memegang leherku lalu melingkarkan lengannya. Untuk beberapa detik aku menahan nafas. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

Arjuna!!
Aku sayang kamu!!

-oOo-

Aku berjalan keluar kelas. Menuju kantin bersama sahabat-sahabatku. Diam-diam mataku mencari-cari Arjuna. Tapi aku tak menemukannya.
Mungkin dia sudah di kantin, kata hatiku.

Kantin ramai ketika kami sampai. Aku dan Dera menunggu Nita, Agata, Sari, dan Febi menukar uang mereka dengan makanan.
Lagi-lagi mataku menyapu kantin, mencari Arjuna. Dan ketika aku menengok ke kiri, punggung dengan seragam OSIS yang kukenal itu melintas begitu saja. Dibelakangnya ada wanita bertubuh tinggi semampai, kulit putih, berkerudung rapi, dengan wajah cantik. Anissa. Sang mantan.

                Deg.

Hatiku serasa diiris-iris. Perih. Airmata meleleh tanpa mampu kupagari.

Dia tak menyapaku. Apa aku tak kelihatan?

Ini bukan kali pertamanya kulihat Arjuna dengan Anissa. Sepertinya mereka mulai dekat lagi. Aku merasa Arjuna mulai menjauhiku semenjak aku putus dengan Naftali.

Dera menutupi wajahku dengan selembar kertas saat mereka lewat. Percuma. Meski hanya satu detik aku melihat mereka, airmataku sudah jatuh entah berapa tetes.

                “Devina..” Febi menyentuh lenganku. Aku mengangguk. Mengerti maksudnya menyebut namaku.

                “Dev, barusan si Juna jalan sama...” belum sempat Nita menyelesaikan kalimatanya, Dera memelototinya dengan galak. “Aa, maaf Dev, maaf, aku nggak tau,” sesal Nita begitu menyadari aku sedang menangis. Aku hanya bisa tersenyum kecut diantara lelehan airmataku.

Ya Tuhan, sungguh, ini sakit. Kenapa dia jalan dengan Anissa di depan mataku? Apa dia itu PHP?

-oOo-

Beberapa saat lamanya aku diam. Mataku mengawasi Tere yang sedang asik mengutak-atik laptop bersampul biru laut itu. Otakku berputar-putar, mencari-cari topik yang bisa kubahas dengannya. Dan aku menemukan itu.

                “Re, apa menurutmu dia itu PHP?” tanyaku. Tangan Tere berhenti menari di atas keyboard.

                “Dia? Siapa? Juna?”

Aku mengangguk.

                “Hm? Kok kau bisa bilang begitu? Apa sebabnya?”

                “Entahlah, dia itu aneh,”

                “Maksudmu?”

                “Gimana ya? Dia memperlakukanku seperti layang-layang. Diulur, ditarik, ulur lagi, tarik lagi,”

                “Lalu?”

                “Ya aku heran. Dia bilang dia sayang. Tapi mengapa tarik ulur begitu? Kalau tak sayang, apa gunanya dekati aku? Maksudku, kalau dekati sebagai sahabat, aku tak masalah. Tapi ini? Masa iya sahabat seringkali manggil ‘sayang’? Coba pikir deh,”

Tere diam. Raut mukanya seperti sedang berpikir keras. Ditaruhnya laptop di lantai. Tangannya menopang dagu, matanya memandang ke lantai.

                “Bagaimana?” tanyaku tak sabar.

Masih diam.

                “Ayolah Re, kau biasanya cepat mengenai hal ini,” aku mendesak. Tere menghela napas.

                “Kita tak bisa ambil kesimpulan sekarang Dev. Jangan terburu. Ini masih kurang jelas.”

                “Kurang jelas? Astaga, lalu sampai kapan aku bisa mengerti dia?”

                “Sabar Dev. Hanya waktu yang bisa menjawab. Lagipula dia tipikal orang yang sulit ditebak. Kalau aku bilang PHP, iya kalau dia benar PHP. Kalau tidak?

Gantian aku yang diam.

                “Amati saja dia,” saran Tere. “Hanya itu yang bisa kau lakukan,”

-oOo-

                “Temen-temen, jangan pulang dulu ya, kita latihan upacara dulu,” suara Nita mampir ke telinga kami. Aku mengeluh. Sabtu ini panas. Pelajarannya melelahkan. Dan kami harus latihan upacara. Senin besok kelas kami bertugas.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju lapangan. Meletakkan tas dan jaket di kursi depan 9ß, kelas Arjuna. Aku benar-benar malas hari ini. Mataku tak mencari-cari sosoknya. Lagipula aku masih kesal soal kejadian Kamis lalu. Saat dia jalan dengan Anissa di kantin.

                “Dev, paduan suaranya disiapin,” Pak Wicaksana menyuruhku. Aku mengangguk dan melakukannya. Siang itu aku fokus pada tugasku sebagai dirigen sampai sesosok tubuh lelaki dengan rompi hitam bergaris oranye dan biru melintas di sebelah utara, sekitar 7 meter dari tempat aku berdiri. Tiba-tiba aku kehilangan fokus. Mataku tergoda untuk menatapnya.

Arjuna terus mengawasiku di antara langkah-langkahnya. Bahasa tubuhnya berkata, ‘ayo semangat Devina!’.

Aku tertegun.

Apa maksudnya?

-oOo-

                “Hai,” Bayu, teman akrab Arjuna menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya mengangguk, wajahku masih kutekuk.

Hening.

                “Kok, mukanya gitu banget? Kenapa?” katanya mengamati raut wajahku.

Sebenarnya aku malas cerita. Tapi menatap sinar mata Bayu, dan mengingat kalu dia adalah teman akrab Arjuna, kupikir tak ada salahnya ia tahu persoalanku. Siapa tahu dia bisa bantu.

                “Kamu mau sembuh dari galau?” Bayu bertanya ketika aku mengakhiri ceritaku. Tentu saja aku mengangguk. Dia tersenyum penuh arti. “Oke, liat aja nanti siang. Istirahat les.” Lanjutnya. Lalu dia berbalik meninggalkanku.

Aku hanya melongo.

Apa lagi ini?

-oOo-

Akhirnya jam pelajaran terakhir pun usai. Aku sedikit bernapas lega. Kulirik jam. Bagus, aku punya 40 menit sebelum masuk les.

Dera mendekatiku. Dan kami berjalan menuju kantin. Setelah sampai, mataku menangkap lelaki dengan tas abu-abu tua bergaris cokelat muda. Senyumku mengembang. Itu Bayu.

                “Hei, gimana?” kataku to the point.

                “Oh, aku tadi tanya sama Juna, ‘kamu dulu kan deket banget sama Devina, kenapa sekarang jadi jauh banget?’ “

                “Terus?” kataku penuh perhatian.

               “Terus dia jawab gini, ‘loh? Suka-suka aku dong, terserah aku. Kan sekarang udah ada Anissa. Ngapain ngurusin dia?’ gitu,”

                Deg.

Aku serasa disambar petir. Hanya bisa melongo dan dengan lirih berkata ‘hah?’ begitu mendengar kalimat Bayu. Hatiku mulai berkecamuk dengan emosi meluap layaknya anak kecil yang tak diberi mainan.

Apa maunya? Apa dia pikir aku layang-layang yang bisa ditarik-ulur? Aku manusia! Wanita yang punya hati dan rasa!

Dera muncul sambil membawa segelas air mineral. Dengan wajah datar ia menatapku, lalu Bayu. Aku meliriknya beberapa detik. Oke, aku tak bisa lebih lama menahan emosi ini.

                “Oke, makasih bantuannya ya, aku ke kelas sekarang,” kataku pada Bayu. Dia tersenyum dan mengangguk.

                “Kita bisa ke kelas sekarang?” aku mendekati Dera sambil berusaha menahan airmata yang berebut ingin keluar ini.

                “Dev? Dev? Kenapa?” Dera panik dan mengikuti langkah cepatku.

Bruk!

Kulempar tas dan menjatuhkan diriku di kursi kelas 9ζ. Kusilangkan tangan di meja dan meletakkan kepalaku di atasnya.

Hening.

Lalu airmata.

                “Dev? Ada apa? Bayu bilang apa?” Dera menanyaiku dengan takut-takut. Sesenggukan kuceritakan semuanya sesingkat mungkin.

                “Astaga, maunya apa sih?” katanya mangkel. Aku hanya mengangkat bahu dan meletakkan kepalaku lagi. Membiarkan bertetes-tetes airmata keluar demi dia. Arjuna.

-oOo-

Senin, istirahat setelah jam pelajaran ke-4.

Aku sudah cukup bisa menguasai diriku. Sudah bisa terbahak seperti biasa meski dalam hati luka itu masih ada.

Kuberjalan menuju kantin dengan Febi sembari membahas topik-topik ringan di sekitar kami.

                “Juna nanyain kamu,” kata Dera. Ternyata dia sudah mendahului aku.

                “Tanya apa?”

                “Devina mana?”

                “Terus kamu jawab?”

                “Nggak aku jawab. Habisnya kamu langsung nongol di sini,”

                “Ohh...”

Kusapukan pandanganku. Tak berapa lama aku menemukannya di antara sekian siswa yang berebut mengambil jajanan. Jantungku berdegup kencang. Aku melirik Dera.

                “Tanya aja,” katanya seolah mengerti apa yang kupikirkan. Aku mengangguk. Kudekati dia, kusentuh bahunya. Dia menoleh.

                “Kamu mau balikan sama Anissa po?” bisikku tepat di telinga kirinya. Dia menangkat alis. Seperti heran dengan pertanyaanku.

                “Ha? Enggak tuh,”

Aku tersenyum. Manggut-manggut.

                “Kenapa sih?” tanyanya balik dengan logatnya yang khas. Matanya menyimpan kebingungan. Aku menggeleng.

                “Enggak, nggak papa kok,” ujarku singkat lalu berbalik meninggalkannya sebelum dia menghujaniku dengan pertanyaan yang memojokkan. Dera mengikutiku. Menjajari langkahku.

                “Gimana?” tanyanya.

                “Katanya sih enggak,” jawabku. Dera mengangguk. Aku melirik ke arah kiri-bawah. Dan kurasa ada langkah yang kukenal mendekati kami.

                “Ada apa sih? Kok kamu bisa tanya gitu?” Arjuna menanyaiku sambil berusaha mengimbangi langkahku. Aku sedikit bingung bagaimana menjawabnya.

                “Enggak, cuma tanya aja kok,”

                “Kok kamu bisa tanya  gitu?”

                “Haha, enggak papa, soalnya sempet denger dari temen, jadi aku tanya ke kamu,”

                “Oh,”

Hening.

                “Kamu enggak bakal balikan kan?” tanyaku memastikan. Dia melirikku.

Hening.

                “Kalo iya, kenapa?”

-oOo-

Aku langsung menggenggam handphone-ku lalu mencari-cari nama Tere di kontak.
Nah, ini dia. Kutekan tombol call.

Tuuu...t... tuuu...t...

                Halo?

                Halo, Tere? Kau di rumah?

                Ya. Ada apa?

                Aku mau cerita. Nanti.

Kuakhiri panggilan.

-oOo-

Akhirnya sampai juga. Kuketuk pintu rumahnya. Seorang wanita paruh baya muncul di balik pintu.

                “Oh, kau nak,” beliau tersenyum ramah. Tangannya mempersilahkan aku masuk.

                “Ya tante. Tere ada?”

                “Ada, di kamarnya,”

Aku langsung menuju kamar Tere, lalu masuk. Kulihat dia sedang membaca sebuah buku. Ditutupnya buka bersampul siluet wayang itu begitu melihatku.

                “Cerita apa?” tanyanya saat aku duduk di tempat tidurnya.

                “Tentang Juna.”

                “Ha!” teriaknya. Seolah tebakannya benar. “Sudah kuduga,” ia tertawa. “Ini,” dia menyerahkan buku tadi. Aku menerimanya. Kubaca judulnya. Sejarah Wayang Purwa.

                “Cari nama Arjuna di situ. Baca keterangan tentang istrinya untukku,”

Aku menurutinya.

Aruna, Arjuna, Arjuna. Tanganku mencari-cari nama itu di daftar isi. Nah ketemu. Aku tersenyum. Halaman 188.

Kubaca penjelasannya dalam hati.

                “Sudah ketemu?” suara Tere memecah keheningan. Aku mengangguk. “Baca,” katanya.

                “Istrinya tak terbilang jumlahnya, sehingga menjadilah peribahasa dalam bahasa Jawa untuk mempersamakan seorang yang beristri lebih dari seorang atau yang berulang-ulang kawin,..” aku memandang Tere dengan tatapan tak mengerti. “...dengan Arjuna,” kututup buku itu.

                “Berapa istrinya” Tere menanyaiku.

                “Banyak,”

                “Banyak,” ulangnya. “Berarti dia pantas punya nama Arjuna,”

Diam.

                “Arjuna. Arjuna. Tampan, sakti, berjiwa satria, playboy,” Tere menjentikkan jarinya. “Dan mungkin dalam duniamu akan lebih tepat bila kutambahkan,..” ditatapnya aku penuh arti. “..PHP,”

Aku mulai sadar.

Arjuna?

                Tampan.

                                Playboy.

                                                PHP.



KEPARAT!!

Selasa, 13 November 2012

Cinta?


Haruskah aku percaya cinta?
Kala yang kudapat hanya derita
Kala yang kurasa hanya duka
Kala yang kutuai hanya airmata
Bukan tawa
Bukan bahagia
Bukan ketulusan seperti apa yang mereka kata

Haruskah aku percaya cinta?
Meski pengorbananku dibalas tusukan
Kesetiaanku dibalas penghianatan
Mawarku dibalas rangkaian duri
Ketulusanku dibalas kebohongan
Senyumku dibalas penyampakan
Permohonanku dibalas penolakan
Dan usahaku dibalas cacian

Haruskah aku percaya cinta?
Sekalipun tak ada yang menyapaku dalam kesendirian
Tak ada yang memelukku dengan kehangatan
Tak ada yang menyemangatiku diantara kegagalan
Tak ada yang menenangkanku ketika aku kepanikan

Cinta
Cinta
Cinta

Apa ada yang dinamakan cinta?
Apa ada cinta di balik derita?
Apa ada cinta dibalik airmata?
Apa ada cinta pertanda bahagia?

Tidak
Tidak
Tidak

Lalu, cinta itu apa?

Senin, 05 November 2012

Mimpi dan Airmata


Saya terbangun dengan keringat bercucuran dan detak yang berlari. Mimpi barusan benar-benar buruk. Rasanya seperti nyata. Tiba-tiba saja saya merasa takut. Bila di mimpi saja saya bisa begitu, bagaimana kenyataannya?

Oh tidak. Jangan. Jangan. Saya sudah merasa sakit tentang kejadian akhir-akhir ini. Dan saya tak ingin mimpi buruk itu tertuang di kisah saya.

Sebenarnya, ini bukan urusan saya. Tapi entah mengapa, saya senang memikirkannya. Memikirkan Anda. Tentang Anda.

Sesungguhnya, Anda itu baik. Hanya saja, sikap Anda sering membuat saya memeras otak. Saat saya tidak benar-benar sendiri, Anda ada di samping saya. Anda selalu sedia meluangkan waktu untuk bersama saya meski tak ada topik yang benar-benar saya ingin bahas. Disitu Anda seolah membuat saya terlalu yakin mengenai Anda dan rasa dalam hati Anda yang dialamatkan pada saya.
Dan sekarang, saat saya benar-benar sendiri, SLASH!! Anda menghilang.
Maksud saya bukan menghilang tak berbekas, tapi seolah Anda menarik diri dari hidup saya.

Kalau saya boleh jujur, itu sakit. Akhir-akhir ini saya sering membutuhkan Anda. Saya butuh telinga Anda untuk masalah-masalah saya. Sayangnya, saya tak lagi mendapatkannya. Ketika saya butuh, Anda justru menghabiskan waktu bersama teman-teman dan mantan Anda di hadapan saya. Saya disini hanya bisa diam dan memperhatikan Anda dari kejauhan.
Sebenarnya, saya bisa saja memanggil Anda. Tapi mengingat tentang diri sendiri, saya jadi mengurungkan niat itu.

Saya tahu, saya bukan siapa-siapa dibanding mereka yang namanya ada di lembar pertama otak anda.
Mereka, termasuk Anda, adalah orang-orang yang dikenal dan diperhitungkan. Coba bandingkan dengan saya. Pasti jauh sekali. Apa yang mau dibanggakan dari saya?

Saya sempat mendengar dari teman saya, anda akan kembali menjalin hubungan dengan.... Ehm,.
Dan itu mebuat saya kacau balau. Saya merasa jatuh, merasa bodoh karena seakan anda menipu saya soal ini.

Tapi saya bisa apa?

Apakah saya harus menangis sejadi-jadinya? Bersujud memeluk kaki anda seperti orang gila dan berkata, “I need you” ?

Saya pikir tidak.
Saya rasa itu sia-sia.
Toh semua usaha saya belum tentu membuat anda kembali seperti dulu.

Saya heran, dimana anda yang dulu?

Hanya pamit sementarakah atau memang berniat pergi?

Kalau pamit sementara, saya harap anda cepat kembali.
Kalau memang berniat pergi, ya silakan.

Mungkin sudah jalannya saya begini.

Sabtu, 03 November 2012

LUKA

Sore datang
Awan berarak menutupi matahari
Langit mulai menangis
Gelap
Dingin
Mencekam
Petir menyambar-nyambar menakutkan
Kilat berkelebat cepat
Lalu hening

Aku meringkuk di sudut kamar
Memandangi tetes-tetes air dari jendela
Sebersit cahaya perak keunguan melintas
Membuatku tiba-tiba teringat sesuatu
Sesuatu yang labil
Kadang indah
Kadang membingungkan
Kadang perih

Sosokmu

Ya, kau
Yang dulu selalu ada
Yang sanggup buatku terpana
Yang buatku menggores tawa
Bahagia
Dan lupa akan semua masalahku

Tapi sekarang?
Kau pergi
Hilang
Tak ada
Berlalu tanpa ucapan perpisahan
Begitu saja

Aku merindukanmu
Rindu senyummu
Rindu saat kita bersama
Rindu saat tanganmu menghapus airmataku
Rindu saat rengkuhanmu menggelitik jiwa
Rindu akan lelehan katamu yang menenangkan

Hey kau,
Aku merasa bodoh karena telah tertipu
Tapi tak bisa kupungkiri
Aku masih membutuhkanmu
Padahal kau sudah pergi
Diam dan menyisakan luka
Luka
Luka
Luka
Hanya luka

Jumat, 02 November 2012

Maaf


Lagi-lagi aku merindukanmu. Entah mengapa, sudut kamar itu membuatku mengenang peristiwa-peristiwa bersamamu. 

Setelah beberapa hari terlepas dari hubungan denganmu, detik-detik yang berjalan seolah menyadarkanku pada satu hal. KAU BERARTI. Sangat berarti. Dan perasaan yang seperti itu serasa mengikatku kuat karena kau tak lagi berada di sisi.

Aku sempat merasakan tangan kuat lain yang merangkulku. Hangat memang. Tapi itu rasanya belum bisa menyamai rangkulanmu apalagi menggantikannya.

Hanya kau yang mampu membuatku setenang itu. Hanya kau. Hanya tanganmu, hanya tanganmu, hanya dekapanmu, hanya bibirmu. Tak ada yang lain. Harus kuakui itu.

Aku tak pernah merasa bebanku benar-benar hilang saat tangan orang lain menggelitik Korpuskula Meissner-ku. Sekalipun itu dengan kehangatan maksimal yang mampu mereka kirim.
Aku memang bisa bersandar dimanapun aku mau. Tapi itu semua sia-sia. Karena bebanku tetap saja melekat. Aku tetap ketakutan dengan bayangan negatif yang kucipta sendiri. Aku tetap merasa lelah saat hatiku dipaksa memperhatikan persimpangan yang ada lalu mengambil keputusan.
Aku butuh meski hanya satu menit berada di dalam keadaan yang tenang pun damai.

Dan yang mampu mewujudkannya hanya kau.

Padahal kau tak lagi ada di dekatku. Kau jauh. Sangat jauh. Sementara hati kita juga sudah berbeda.
Lalu aku bisa apa? Marah? Menangis? Putus asa?

Tidak.

Toh semua itu tak membuat tangan kuatmu kembali.

Hey, aku masih membutuhkanmu. Aku meindukanmu. Tapi, yah. Aku cukup tahu diri.

Maaf.

Andai aku bisa menyelesaikan masalahku tanpa merasa lelah.

Kamis, 01 November 2012

Aku Rela


            “Serius sekali?” ujarnya ketika aku asyik menegtik. Ia lalu duduk di sebelahku. Aku tak menjawab
.
            “Hey,” katanya. Berusaha menarik perhatianku. Aku masih diam.

            “Ngetik apa sih?”

Diam.

            “Astaga, aku dikacangi,”

Diam.

            “Priska?” dipanggilnya namaku. Aku mengeluh dalam hati, Bersungut-sungut karena dia mengganggu kerja otakku. Melihatku yang tetap cuek dengan sapaannya, dia melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku mendesah. Jemariku berhenti mengetik. Kuarahkan pandanganku ke matanya.

            “Apa?” ujarku. Tak niat. Sedikit judes.

            “Kau cuek,”

            “Oh, gitu?”

            “Ya.”

            “Emang kenapa kalo aku cuek?”

Meringis. Dipamerkannya gigi yang rapi dengan behel hijau muda itu.

            “Enggak tau apa kalo aku lagi serius?”

Meringis lagi. Aku mengeluh. Kumatikan laptop dan memasukkannya dalam tasku. Dengan wajah ditekuk aku berdiri. Lalu aku berjalan meninggalkannya. Baru sekitar 10 meter aku melangkah, derapannya menuju ke arahku. Bisa kutebak, dia pasti memajang wajah jenaka itu. Dia terbahak. Tangan kirinya melingkar di leherku. Berat. Aku mendengus kesal. Masih dengan wajah yang galak.

            “Ayolah Priska, kan aku cuma bercanda,” bujuknya manis.

            “Iya.”

            “Jangan marah dong,”

            “Enggak kok,”

            “Aa ciyus?”

            “Hm,”

            “Enelan?”

            “Hm,”

            “Miapah?”

Diam.

            “Hey?”

            “Miatamu!” aku berteriak. Dia nyaris melompat terkejut. Wajahku semakin kutekuk. Kesal. Padahal dalam hati aku senang sekali.

            “Eh, jangan marah dong,” dia memelas.

            “Rese ah,”

            “Ya, aku minta maaf deh,” dia mengulurkan tangan dan tersenyum. Entah tulus, entah tidak.

            “Minta maaf yang bener,”

Dia meringis lagi. Menempatkan tubuhnya tepat di hadapanku. Berdiri tegak, berdehem. Aku menatapnya.

WOW, aku terpesona dalam hati. Dia tampan sekali. Punya wajah oval yang sempurna. Matanya sipit, hidung kecil yang mancung, dagu belah, dan kulit putih. Andai aku bisa jadi orang yang dicintainya. Apa mungkin?

            “Priska, aku minta maaf ya, yang tadi cuma bercanda kok, janji ga bikin kesel lagi,” senyumnya mengenbang. Tampaknya tulus. Akhirnya aku tersenyum. Wajahnya yang manis nan jenaka itu seolah memanggil-manggil senyumku.

            “Ya deh,” kataku, masih berusaha mempertahankan nada yang galak. Dia tertawa, dan bodohnya, aku ikut tertawa.

Lalu kami berbaikan. Selalu begitu.

Dia menggodaku, aku marah, kemudian aku meninggalkannya dan dia mengejarku. Meminta maaf dan berkata apa saja yang bisa membuatku tertawa lagi.

Ya seperti itulah. Kami memang dekat. Aku mengenalnya sejak akhir kelas 8, sudah 2 tahun yang lalu. Gara-gara aku dan dia menjadi satu tim madding yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba bersama dua teman lainnya. Karena satu tim, mau tidak mau kami pasti berkominukasi. Awalnya hanya sebatas madding saja. Lama-lama kamu saling bercerita mengenai banyak hal.
Persahabatan kami semakin erat karena entah kebetulan atau tidak kami mendaftar di SMA yang sama dan ditempatkan di kelas yang sama pula.

Dan selama itu, aku menyimpan perasaanku yang sebenarnya. Aku mencintainya. Ya, sungguh. Tapi aku tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Dia saja tak pernah menyinggung soal perasaannya padaku. Masa iya, aku sebagai wanita bilang kalau aku suka dia?

Aku tak pernah tahu dan tak mau menebak-nebak mengenai hatinya. Itu bukan urusanku.
Pernah beberapa kali dia bercerita tentang cinta. Tentang wanita-wanita yang pastinya serba lebih dariku. Lebih cantik, pintar, kaya, dan lain-lain. Hanya sekedar cinta monyet tapi. Bukan cinta yang sesungguhnya. Karena dia mudah menaruh hati pada wanita cantik. Padahal mereka yang cantik di sekeliling kami adalah wanita yang tak setia. Playgirl.

Jadi, dia hanya cinta, cinta biasa. Atau mungkin akan lebih tepat dikatakan ‘mengagumi’.
Dari cerita-ceritanya, aku bisa menyimpulkan kalau aku tak pantas untukknya. Apa yang mau dibanggakan dariku? Aku tak bergelimang harta, prestasi hanya di bidang sastra saja, itupun tak seberapa. Aku juga tak cantik (menurutku).

Sering aku berharap, dia bisa belajar mencintai dari hati. Bukan fisik. Fisik itu kan tak menjamin. Yang terpenting adalah hati.
Tapi aku tak pernah menyarankannya mengubah tipe wanitanya. Aku tak berhak untuk itu. Dan mengenai perasaanku, aku tetap menyimpannya rapat-rapat dalam hati. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu hal ini.

L L L

Jam pelajaran terakhir pun usai. Bel yang nyaring membangkitkan senyum kami, anak SMA yang sudah lelah dan bosan dengan materi-materi rumit. Satu persatu dari kami mulai keluar kelas. Beberapa terlihat semangat, mungkin tak sabar ingin bertemu si kekasih hati. Beberapa memajang muka mengantuk.
dalam hitungan menit, kelaspun sepi. Hanya tinggal aku dan lelaki yang kucintai dalam diam itu. Ia bangkit, menggendong tas hitam bergaris hijaunya di pundak kanan. Ia melewati mejaku dan memukulnya pelan. Wajahnya tampak menyimpan kesenangan.

            “Katanya mau cerita?” aku setengah berteriak.

            “Iya. Ayo ikut,”

Aku menutup tas, menggendongnya lalu keluar kelas mengikuti dia. Kujajari langkahnya. Tangannya yang kuat itu mulai melingkar di leherku. Berat. Tapi dalam hati rasanya ingin lompat-lompat. Terbang.

            “Laper nggak?” dia bertanya. Aku mengangguk.

            “Haus pula,” kataku. Dia terbahak.

            “Makan yuk,” ajaknya. Aku hanya mengangkat bahu.

            “Haha, ayolah, aku traktir deh,” dia menguatkan rangkulannya dan berjalan lebih cepat.

Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan dia ceritakan kali ini. Wajahnya seperti....seperti.... ah, ya. Wajah lelaki sedang jatuh cinta.
Siapakah wanita itu?

            “Ada yang menarik akhir-akhir ini,” katanya sambil meneguk es jeruk.

            “Oh ya?” aku mengguklung mie dan memasukkannya ke mulut. Dia mengangguk.

            “Dia beda, nggak setipe sama yang aku pernah cerita.” Tiba-tiba jantungku berdebar.

            “Oke, sekarang saatnya gue bilang wow,” aku setengah bercanda. “Siapa dia?” tanyaku.

            “Dia sekolah di sini kok,” katanya sembari melahap bakso. Harus kuakui, ada rasa senang yang mengalir di darahku. Dalam gambaran, aku bisa saja terbang, melayang entah sampai langit ke berapa.

            “Rambutnya panjang,” dia mulai menyebutkan cirri-cirinya. Itu membuat jantung dan rasa ini menari-nari. Itu cirri-ciriku! Seolah aku ingin berteriak-teriak sampai ke sudut kota.

Aku punya rambut panjang, lesung di bawah bibir sebelah kiri, kulitku sedang, tidak kuning langsat, sawo matang juga tidak, wajahku segilima. Bulat sebatas rahang, dan meruncing ke dagu. Tirus.

Astaga, dia benar membuatku terbang hari ini. Aku berbicara sendiri dengan diriku. Berusaha mengendalikan rasa bahagia ini. Untung berhasil. Yang Nampak fisik hanya segores senyumku saja.

            “Namanya siapa?” tanyaku masih sangat antusias.

            “Namanya?” dia mengulang pertanyaanku.

Aku mengangguk.

            “Hahaha...” dia tertawa. Matanya menatap penuh arti. “Tunggu ceritaku selanjutnya,”

Hening.

Dia meneguk es jeruk dan mengunyah bakso terakhirnya. Aku merenung. Adakah itu aku?

Entah.

Aku hanya bisa berharap jawabannya adalah ya. Aku geli dalam hati. Lalu kembali serius dengan makananku.

L L L

            “Tiara, jadi cerita enggak?” aku berdiri di depan kelas Tiara, sahabatku sejak kelas 1 SD.

            “Tunggu bentar,” katanya. Masih sibuk memasukkan buku ke tasnya. Aku bersandar di pintu. Sebuah bayangan melintas di belakangku. Spontan, aku menoleh.

Oh, kataku dalam hati. Ternyata dia, lelaki berbehel hijau muda itu. Ia tersenyum padaku. Lalu melongok ke dalam kelas. Dilihatnya Tiara yang masih sibuk dengan buku-bukunya. Senyumnya semakin manis. Kemudian dia berjalan kea rah utara dan menghilang di balik tangga.

Tiba-tiba saja aku jadi berpikir. Dia tak pernah tersenyum semanis itu kalau tidak mengenal siapa orangnya. Aku hafal betul dengan kebiasaannya. Ia sudah terseyum begitu manis dan bersahabat pada Tiara. Apa artinya mereka sudah saling mengenal? Tapi kenapa dia tak pernah bercetita padaku? Dasar!

Pemikiranku terputus ketika Tiara menarik lenganku. Aku mengikutinya. Kami duduk di bangku depan kelasnya.

            “Aku jatuh cinta,” matanya berbinar, bahagia. Lesung pipitnya muncul bersama senyumnya.

            “Cieeee...” aku ikut bersemangat. Senang karena dia sudah berhasil move on dari Vian. “Sama siapa?” tanyaku. Tiara mulai bercerita.

Mereka bertemu di toko buku. Tanpa sengaja, Tiara menjatuhkan sebuah buku ketika tangannya mengambil buku lain. Sebelum ia sempat mengambilnya, tangan seorang lelaki sudah lebih dulu mengembalikannya ke tempat semula.
Merekapun berkenalan. Saling bertanya soal hal-hal di sekitar mereka. Si lelaki menawarkan diri untuk menemani Tiara sepanjang sore. Sudah cukup banyak topic yang mereka bicarakan. Akhirnya mereka pulang setelah bertukar nomor handphone.
Dari situlah mereka mulai dekat. Dan seperti yang Tiara katakana di awal, perkenalan mereka berujung pada, ya. CINTA. Namun dalam ceritanya, Tiara tak menyebut nama. Hanya cirri-ciri saja.
Dia bilang lelaki itu punya badan yang tegak. Wajahnya oval. Mata sipit, hidung mancung dengan behel menghiasi giginya.

Aku tersentak. Sepertinya aku mngenal cirri-ciri itu. Tapi siapa ya?

          “Kamu kenal kok sama dia,” Tiara menutup ceritanya. Aku semakin keras berpikir. “Besok kamu pasti tahu,” dia tersenyum. “Aku pulang duluan ya,”

Aku mengangguk. Penasaran tapi juga bersyukur karen Tiara sudah mendapat pengganti Vian. Semoga lelaki ini bisa membuatnya bahagia. Amin.

L L L

1 minggu kemudian...

            “Priska!” seseorang memanggil namaku. Aku menoleh.

            “Hey,” ternyata Tiara. Wajahnya terlihta senang. Sangat senang. “Ada apa?” tanyaku.

            “Aku kan janji mau ngasih tahu kamu soal cowok yang aku suka itu kan?”

            “Oh, iya,” aku tersenyum. Penasaran.

            “Nah, sekarang saatnya kamu tahu,”

Aku mengangguk.

            “Sayang?” panggil Tiara. Sesosok tubuh lelaki berjalan ke arah kami.

            “Yanuar,” katanya bangga. “Sudah kubilang kamu kenal,”

Yanuar meringis, memamerkan behel hijau penghias giginya.

            “Perlu kenalan lagi enggak?” goda lelaki itu mengulurkan tangan. Hatiku serasa meledak.

Ternyata lelaki yang diceritakan Tiara adalah Yanuar. Sosok yang kucintai dalam diam itu. Dan cirri-ciri yang disebutkan Yanuar ternyata bukan cirri-ciriku. Hanya mirip. Aku dan Tiara secara fisik memang memiliki banyak kesamaan. Yang membedakan kami, rambutku ikalpanjang. Lesing pipitku di bawah bibir sebelah kiri. Sedang Tiara berambut lurus, sama panjangnya denganku. Lesung pipitnya menghiasi pipi kanan dan kiri.

Aku yang sudah melayang tinggi akhirnya jatuh ke palung laut.
Pupus sudah segala harapanku. Hancur, berkeping-keping. Tak ada lagi yang tersisa. Perih. Perih. Perih. Hanya ada perih.

Berusaha aku mengendalikan rasa sakit ini. Sekali lagi aku berhasil. Aku bisa terbahak.

            “Sial, jadi ceritanya, selama ini kita nggak kenal gitu?” candaku. Kami bertiga tertawa. Aku menyalami mereka. Kudoakan supaya langgeng. Mereka tersenyum bahagia. Lalu berbalik. Yanuar merangkul Tiara dan Tiara melingkarkan tangannya di pinggang lelaki itu.

Aku memandang mereka. Tersenyum dalam kepahitan menyadari kenyataan yang ada. Memang itu semua salahku. Salahku yang tak pernah berani mengungkapkan perasaan ini. Dan sekarang semua sudah terlambat. Aku tak mungkin berucap dan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Sudahlah aku rela. Aku rela meski harus menukar cintaku dengan rasa sakit.

Aku berjalan menuju kelas. Yang tidak dilihat orang adalah dua butir airmata bening yang jatuh dari kedua sudut matakku.